PAPER “ANALISIS PENYEBAB KETERBELAKANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PAPUA SBAGAI AKIBAT TERHADAP KETERGANTUNGAN PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT ”
PAPER
“ANALISIS PENYEBAB KETERBELAKANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI
DI PAPUA SBAGAI AKIBAT TERHADAP KETERGANTUNGAN PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT ”
Mata Kuliah : Teori Pembangunan
Dosen
Pengampu : Yanuardi, M.Si.
Disusun
Oleh:
Agung
Tri Laksono 13417141024
Kelas
: Ilmu Administrasi Negara (A)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
ABSTRAK
Papua merupakan
provinsi yang kaya akan potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangan telah mampu
menyumbangkan 50 % perekonomian di Papua dengan komuditas tembaga, emas, minyak
dan gas. Masuknya investor (PT. Feeport) memang telah memberikan pengaruh
terhadap pendapatan perkapita Papua. Namun, hal tersebut belum dapat mengurangi
angka kemiskinan dan kesenjangan antara provinsi di Indonesia. Tingginya
ketergantungan pada sektor pertambangan membuat Papua mengandalkan pertambangan
sebagai pendapatan utama Papua.
Freeport
merupakan perusahaan tambang emas yang berada di Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Aktivitas
pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai
sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini,
kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah memberikan keuntungan
finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum
memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar
wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mendapat keuntungan
dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pada tahun 2002, BPS
mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan
rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Adanya
faktor triple alliance yang dilakukan pemerintah, perusahaan asing dan
masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan merupakan salah satu dari
penghambat atau kegagalan pembangunan ekonomi di Indonesia pada khususnya di
Papua. Adanya hubungan yang tidak sehat antara ketiga pihak yang saling ingin
memperoleh menimbulkan kesenjangan
ekonomi di Papua. Adanya pembuatan kebijakan, fasilitas dan hak-hak yang
istimewa dari PT. Freeport telah menyebabkan ketergantungan dan keterbelakangan
pembangunan Indonesia khususnya pada provinsi Papua.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak diimplementasikan gagasan
pembangunan modern yang merupakan ciri pembangunan utama di Indonesia pada
rezim orde baru, indikasi Trickle Down Effect tidak kunjung mampu mewujudkan
kesejahteraan masyarakat seperti yang dikembangkan dalam tataran ideal. Masuknya
perusahaan multinasional yang disinyalir bisa menjadi pemicu pertumbuhan
ekonomi yang mendukung gagasan pembangunan modern tersebut, pada kenyataannya
justru menimbulkan dampak sosial, lingkungan, dan politik di dalam masyarakat,
yang pada akhirnya mengarah pada munculnya potensi konflik, kesenjangan dan
kerusakan lingkungan.
Indonesia merupakan negara yang kaya
akan Sumber daya Alamnya. Apabila potensi kekayaan alam dapat dimanfaatkan
dengan maksimal, Indonesia dapat menjadi negara yang makmur, bahkan dapat
mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika. Akan tetapi hal tersebut masih
menjadi angan-angan (utopis) untuk saat ini. Hal tersebut disebabkan sistem
pengelolaan yang tidak tepat atau faktor-faktor lain yang tidak lepas dari
kondisi transisi politik Indonesia tahun 1965 dari Orde Lama ke Orde Baru. Orde
Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto ketika itu membuka pasar yang
seluas-luasnya bagi investor terutama investor asing untuk menanamkan modalnya
di Indonesia setelah sebelumnya pada masa Orde Lama yang dipimpin Presiden
Soekarno melakukan nasionalisasi aset terhadap perusahaan asing yang ada di
Indonesia. Salah satu bentuk kemudahan perusahaan asing masuk di Indonesia
adalah dikeluarkanya UU No. 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti dengan keluarnya UU No. 11 Tahun
1967 tentang Pertambangan, dan satu tahun setelah itu disusul dengan
pengesahaan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Lahirnya paket regulasi tersebut
telah menarik minat investor pertambangan asal Amerika Freeport Mining Inc.,
untuk menanamkan modalnya di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi
Papua untuk melakukan eksploitasi tembaga. Karena kondisi Indonesia dalam masa
transisi yang katanya membutuhkan dukungan ekonomi dan juga dengan dalih
promosi investasi Indonesia ke luar negeri, maka Pemerintah Indonesia akhirnya
menerima tawaran investasi dari Freeport Mining Inc. untuk melakukan kegiatan
usahanya di Indonesia dengan mendirikan PT. Freeport Indonesia (PTFI).
Kerjasama Pemerintah dan PT. Freeport pun dituangkan dalam kontrak karya (KK)
pertamanya pada tahun 1967 dengan lama operasi 30 tahun, dan pada tahun 1988
ditemukan cadangan Grasberg akhirnya pada tahun 1991 dilakukan KK. Kerja sama
tersebut.
Namun, Keberadaan Freeport tidak banyak
berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal.
Adanya PT. Freeport juga menimbulkan ketergantungan terhadap pertambangan emas.
Pada hal jika dilihat potensi kekayaan alam papua baik dari sektor pertanian,
perkebunan dan kehutanan sangat besar. Masuknya PT. Freeport justru menimbulkan
ketimpangan sosial bahkan konflik sosial. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar
41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk
asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi
Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Padahal pendapatan utama
dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus
2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan
225 ribu ton bijih emas.
Besarnya sumber daya alam di daerah papua dengan tidak diikuti kemajuan pembangunan
daerah sekitar Papua menarik penulis untuk melakukan penelitian dan analisis
mengenai penyebab keterbelakangan pembangunan ekonomi Indonema Freeport sia
khususnya pada provinsi Papua sebagai SDA yang melimpah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis ingin
mengkaji mengenai Pertambangan PT. Freeport yang
diharapkan sebagai pendorong kemajuan pembangunan Indonesia khususnya papua,
belum mampum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua namun justru
menimbulkan kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi masyarakat Papua. Dengan
begitu bagaimana ketergantungan ekonomi Papua jika dilihat dari sektor
pertambang emas PT. Freeport? apakah
penyebab keterbelakangan pembangunan ekonomi di Papua terhadap pertambangan
emas PT. Freeport?
Tujuan
2. Untuk
mengetahui ketergantungan ekonomi Papua terhadap Sektor Pertambangan Emas PT.
Freeport
3. Untuk
mengetahui penyebab keterbelakangan pembangunan ekonomi di Papua terhadap pertambangan
emas PT. Freeport.
C.
Manfaat
Penulisan
paper ini diharapkan kegunaan dan kebermanfaatan baik secara teoritis maupun
secara praktis,sebagai berikut:
1. Manfaat
untuk mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
penelitian-penelitian yang lain dengan tema yang relevan sehingga dapat
memberikan kontribusi pemikiran sekaligus menjadi bahan kajian dalam memahami
tentang faktor penghambat kemajuan dan
keterbelakangan negara Indonesia khususnya pada masyarakat Papua dalam
kasus pertambangan Freeport di Papua
2. Manfaat
bagi masyarakat luas, dapat memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai faktor
penyebab penghambat kemajuan dan
keterbelakangan negara Indonesia khususnya pada masyarakat Papua.
3. Manfaat
bagi pemerintah, penelitian mengenai permasalahan yang di hadapi Indonesia,
faktor penghambat kemajuan dan
keterbelakangan negara Indonesia khususnya pada masyarakat dalam kasus
pertambangan Freeport di Papua diharapkan memberikan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam melakukan perubahan pembangunan dan pembuatan regulasi
kebijakan.
BAB II
KAJIAN
TEORI
A.
Teori
Analisis
Nasution mengemukakan bahwa analisis data dan
penafsiran data dapat diuraikan sebagai berikut : “Analisis adalah proses
menyusun dan menggabungkan data ke dalam pola, tema, kategori, sedangkan
penafsiran adalah memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau
kategori, dan mencari hubungan antara beberapa konsep. Penafsiran menggambarkan
perspektif peneliti bukan kebenaran.Analisis dan penafsiran data dalam
penelitian kualitatif pada dasarnya bukan merupakan hal yang berjalan bersama,
keduanya dilakukan sejak awal penelitian.”(Nasution, 1996:126).
Analisis data dilakukan agar data yang telah diperoleh
akan lebih bermakna. Analisis data merupakan proses penyederhanaan data kedalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Bagdan dan Biklen
(1992:145) menjelaskan analisis data adalah proses mencari secara sistematis
dan mengatur catatan wawancara, catatan lapangan, dan rider lain yang dihimpun
untuk mengiring pengertian. Analisis tersebut melibatkan kerja dengan data,
mengaturnya, memisahkan kedalam unit-unit yang dapat dikelola, memadukannya,
mencari-cari pola memenuhi hal-hal penting dan apa yang diketahui dan
memutuskan apa yang akan disampaikan kepada orang lain. Untuk menyajikan data
agar lebih bermakna dan mudah difahami, maka langkah analisis data pada
penelitian ini digunakan analisis model interaktif (Interactive Model Analysis)
dari Miles dan Huberman (1984:21–23).
B.
Pembangunan
Menurut Inayatullah, pembangunan
merupakan kegiatan perubahan menuju ke pola-pola masyarakat yang lebih baik
dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat membuat sekelompok
masyarakat memiliki kendali yang lebih besar terhadap kondisi lingkungan dan juga
tujuan politiknya, serta membuat warganya menjadi lebih memiliki kontrol
terhadap kehidupan diri sendiri. Kemudian menurut Rogers dan Shoemaker, pembangunan
adalah suatu jenis perubahan sosial, yang mana terdapat berbagai ide baru yang
diperkenalkan di sebuah sistem sosial yang bertujuan agar bisa menghasilkan
pendapatan per kapita dan level kehidupan yang lebih baik dengan menggunakan
metode produksi yang lebih canggih dan organisasi sosial yang lebih terarah.
Dalam bukunya yang berjudul Teori
Pembangunan Dunia Ketiga Arief budiman (1995) menguraikan ada lima pendekatan
yang digunakan untuk mengukur pembangunan. Berikut akan diuraikan ukuran
keberhasilan pembangunan yang telah dihimpun oleh Arief budiman tersebut.
Setalah uraian ini penulis akan menawarkan cara yang perlu dilakukan untuk
mengukur keberhasilan pembangunan menurut pendapat penulis.
1. Kekayaan
rata-rata.
Menurut
pendekatan ini sebuah masyarakat dikatakan berhasil membangun bila pertumbuhan
ekonomi didalam masyarakat tersebut cukup tinggi. Cara mengukurnya adalah
diukur dari Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product ( GDP) yang dibagi dengan Jumlah penduduk. Dengan
demikian dapat diukur produksi rata-rata setiap orang dari sebuah negara.
2. Pemerataan
Cara
yang dilakukan dalam pendekatan ini
adalah dengan melihat berapa prosen dari GNP diraih oleh 40% penduduk miskin,
dan berapa persen dari 40% dinikmati penduduk menengah, serta berapa prosen
dari 20% dinikmati penduduk kaya. Apabila terjadi ketimpangan yang luar biasa
maka pemerataan dalam negara tersebut dianggap tidak tercapai. Cara lain adalah
dengan menggunakan indeks gini. Indeks ini diukur dengan angka antara 0-1. Bila
indeks gini sama dengan satu maka terjadi ketimpangan maksimal, tapi bila 0
maka ketimpangan tidak ada. Jadi semakin kecil indek gini maka semakin kecil
pula ketimpangan yang terjadi dalam sebuah negara.
3. Kualitas
Hidup
Pendekatan
ini tidak hanya mengukur pembangunan dari sudut pandang ekonomi, melainkan
menekankan pada kesejahteraan penduduk. Salah satu tolak ukur yang digunakan
adalah pendapat moris yang mengenalkan PQLI (Physical Quality Indeks), yang
mengukur tiga indikator yaitu : (1) rata-rata harapan hidup (2) Rata-rata
jumlah kemtian bayi (3) Rata-rata presentasi
buta huruf. Ketika indeks ini di dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
ternyata di masyarakat negara berkembang terdapat ketidaksesuaian antara
pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk.
4. Kerusakan
Lingkungan Hidup
Pendekatan
ini menekankan pada pentingnya aspek lingkungan hidup sebagai indikator dalam
pembangunan. Pendekatan ini berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan yang didapat saat ini, bisa tidak berarti apa-apa bila harus mengorbankan lingkungan hidup.
Bagi pendekatan ini kerusakan lingkungan hidup agar berdampak buruk terhadap
masyarakat tersebut dimasa depan. Sebab bila kemampuan lingkungan menurun untuk
memenuhi kebutuhan manusia menurun,maka hal tersebut akan memiskinkan
masyarakat tersebut di masa depan. Oleh karena itu, pendekatan ini memasukan
kemampuan untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan hidup sebagai faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan.
5. Keadilan
sosial dan kesinambungan
Pendekatan
ini menggabungkan dua pendekatan yang sebelumnya sudah melakukan krtitik
terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai orientasi utama, yaitu pendekatan
pemerataan dan lingkungan hidup. Dalam pendekatan ini keberhasilan pembangunan
dapat diukur dari sejauh mana pemerataan dapat terwujud, sekaligus lingkunagn
hidup tetap lestari.
C.
Teori
Ketergantungan
Muncul sebagai reaksi terhadap
fenomena kegagalan penerapan Teori Modernisasi di Amerika Latin. Kedua teori
ini cenderung melihat pembangunan dan keterbelakangan di Dunia Ketiga melalui
pendekatanyang lebih condong kepada aspek politik (Chirot dan Hall 1982).
Kemunculan perspektif ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx tentang
pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalis, dan pandangan Lenin terhadap
imperialisme. Para pakar di dalamnya, seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank,
Samir Amin, mencoba menjelaskan bahwa keterbelakangan dan kemiskinan di Dunia
Ketiga sebagai akibat dari adanya ketergantungan terhadap kekuatan ekonomi
global dan konflik internasional. Kemiskinan yang dialami oleh bangsa-bangsa di
negara yang sedang berkembang merupakan akibat dari sistem ekonomi dunia yang
tidak seimbang, dimana sekelompok negara kuat mengeksploitasi negara-negara yang
lebih lemah.
Menurut Paul Baran dan Frank
Terciptanya pertumbuhan ekonomi yangtinggi dan perkembangan kapitalisme di
Barat, merupakan hasil exploitasi terhadap negara-negara miskin tetapi kaya
dengan sumber daya alam. Pandangan bahwa kemiskinan merupakan kondisi pada
tahap pra-pembangunan tidak seluruhnya benar, karena kondisi ini terus bertahan
sebagai akibat dari adanya pola hubungan ekonomi imperialisme yang tidak
seimbang. Ekonomi global dikuasai dan didominasi oleh negara-negara kapitalis,
sedangkan negara-negara miskin dijadikan objekeksploitasi oleh mereka. (Deddt
T.Tikson, 50-51).
Konsep-konsep yang dilontarkan oleh
Paul Baran seperti “ indispensable hinterland” dan oleh Frank “ the development
of underdevelopment” merupakan premis-premis dasar yang kemudian membangun
teori ini. Menurut Baran, ilmu sosial yang lahir di negara kapitalis memberikan
dukungan ideologis atas terjadinya exploitasi negara-negara dunia ketiga yang
paralel dengan merebaknya kapitalisme global. Dalam hal ini, negara-negara kapitalis
memiliki kepentingan untuk tetap mempertahankan keterbelakangan dunia ketiga
sebagai sumber produksi sektor primer yang bernilai tinggi agar mereka dapat
mengekstraksi nilai tambah dari negara-negera ekonomi lemah.Andre Gunder Frank
(1967) memperkenalkan konsep underdevelopment (keterbelakangan) dan sebuah
model exploitasi metropole-satellite.
MenurutFrank, proses pembangunan dan
perubahan sosial hanya akan dapat dipahamiapabila ditinjau secara historis
dengan memusatkan perhatian kepada prosesinteraksi di dalam sistem politk dan
perkonomian global. Seperti juga Baran, Frankberpendapat bahwa ketimpangan
ekonomi dunia merupakan hasil dari dominasiekonomi oleh negara-negara
kapitalis/industri. Pembangunan dan keterbelakangan bagaikan dua sisi dari
sebuah mata uang. Negara-negara berekonomi kuat akan tetap semakin kuat dengan
melakukan pemerasan terhadap negara-negara miskin. Dengan demikian, usaha-usaha
pembangunan di Dunia Ketiga tidak akan dapatmengejar ketertinggalan mereka dari
dunia pertama. Ketergantungan adalah sebuah situasi dimana ekonomi sebuah atau
beberapa negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi negara
lain. Situasi ini akan menempatkan negara-negara yang tergantung dalam posisi
yang tetap terbelakang sebagai akibatdari exploitasi oleh negara-negara
berekonomi kuat, (Deddy T.Tikson, 52.2005) Selanjutnya ialah Paul Presbich, adalah
seorang ekonomi liberal, yangmenjadi sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB
yang didirikan pada tahun 1948 disantiago Chlie dengan lembanganya yang bernama
ECLA atau Economic CommisionFor Latin Amerika, di mana ia menerbitkan karyanya
yang berjudul The Economic Development of Latin America and its Principal
Problem, yang intinya menurut Presbich, adanya teori pembagian kerja secara
internasional yang didasarkan padateori keunggulan komparatif, membuat
negara-negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya. Olehnya itu kemudian
negara-negara di dunia terbagi dalam dua kelompok yakni negara-negara pusat
yang menghasilkan barang industri dan negara-negara pinggiran yang memproduksi
hasil pertanian, (Budiman, 45-47.1995).
Pendapat lain dari Theotonio Dos
santos mengungkapkan bahwa negara pinggiran atau negara satelite bisa juga
berkembang, meskipun kemudian perkembangannya sangat tergantung. Implus dan
dinamika perkembangan ini kemudian tidak datang dari negara satelite melainkan dari
negara induknya. Sumbangan Dos santos tentang bentuk-bentuk ketergantungan
adalah:
1. Ketergantungan
kolonial di mana dijelaskan bahwa terjadi dominasi politik, dalambentuk
penguasaan kolonial dari negara pusat ke negara pinggiran, yang manadigambarkan
bahwa hubungan antara penjajah dengan penduduk setempat bersifateksploitatif.
2. Ketergantungan
finansial industrial, bahwa Negara pinggiran secara politis merdekatetapi dalam
kenyataannya, negara pinggiran ini masih dikuasain oleh kekuatan-kekuatan
finansial dan industrial dari negara pusat.
3. Ketergantungan
tekhnologi industrial, bahwa kegiatan ekonomi di negara pinggirantidak lagi
berupa ekspor bahan mentah untuk keperluan industri di negara
pusat.Perusahaan-perusahan multinasional mulai dari negara pusat mulai
menanamkanmodalnya dalam kegiatan industri dengan tujuan negara pinggiran
memberikanupah untuk penyewaan suatuh produk tekhnologi.
(Budiman,69-70.1995).Selanjutnya ialah Emmanuel Wallerstein, dengan Teori
Sistem Dunia (World System Theory).
Teori
ini menyajikan konseptualisasi di mana, setiap negara ataubangsa memiliki
potensi mobilitas vertikal untuk bergerak ke atas (karenaperbaikan ekonomi),
maupun ke bawah (degradasi ekonomi) (Wallerstein 1979).Teori ini, bagaimanapun,
memiliki asumsi dan pandangan yang sama dengan teoriketergantungan tentang
penyebab keterbelakangan dunia ketiga, yang manakeduanya menganggap bahwa
keterbelakangan sebagai akibat langsung dari adanyahubungan yang timpang antara
negara-negara kapitalis dan non-kapitalis. Berdasarkan kepada latar belakang
sejarah perkembangan ekonomi dan politikinternasional sejak abad ke 16, teori
sistem dunia (TSD) mengajukan konsep international division of labor dimana setiap negara memiliki fungsi
masing-masingsesuai dengan posisi mereka di dalam sistem ekonomi dunia.
Misalnya, sekelompoknegara memproduksi dan mengekspor produk pertanian, dan
kelompok yang lainmengekspor barang-barang industri.
Menurut
TSD struktur ekonomi dunia terdiri atas kelompok negara-negara pusat (core),
semi-pinggiran (semi periphery) dan pinggiran (periphery). Negara-negara pusat
adalah mereka yang dapat memaksakan kehendaknya untuk menciptakan pertukaran
yang tidak seimbang demi keuntungan mereka, dengan mengambil nilai surplus dari
pinggiran. Negara-negara pinggiran pada umumnya adalah mereka yang masih
tergantung kepada produk pertanian dan ekspor komoditi pertanian dengan upah
rendah.
Negara-negara
ini pada hakekatnyadieksploitasi oleh negara pusat (core) yang memproduksi
barang dengan upahrendah. Sedangkan semi-pinggiran berada diantara kedua
kategori ekstrim ini.(Wallerstein dalam Deddy T.tikson,72-73.2005).II.3 Teori
ketergantungan Teori ketergantungan (dependent development) menyatakan bahwa ketergantungan
terhadap ekonomi internasional tidak selalu menghasilkan keterbelakangan di
dunia ketiga. Sistem ekonomi dunia menurut pandangan ini bisa menjadi pendukung
atau penghambat terhadap kemajuan ekonomi di negara-negara yang sedang membangun.
Teori ini menganggap bahwa kemajuan ekonomi sebuah negara, lebih tergantung
kepada faktor-faktor domestik dari pada global. Faktor-faktor tersebut antara
lain kemampuan pemerintah (state capacity), pemilik modal domestik, masyarakat,
dan hubungan antar kelas yang dapat menjadi faktorpendukung ke arah pertumbuhan
ekonomi dan proses modernisasi.Cardoso dan Faletto (1979) menjelaskan adanya
perbedaan yang cukup tajam antara situasi ketergantungan tahun 1960-an dan
1970-an di Amerika Latin. Berdasarkan pengamatan mereka di negara-negara
Amerika Latin, dapat diidentifikasi bahwa situasi ketergantungan tahun 1970-an
tidak lagi membawa pengaruh negatif seperti yang terjadi pada tahun 1960-an.
Artinya, ketergantunganterhadap modal dan teknolnogi asing tetap ada, tetapi
gejala ke arah pengaruh positif telah mulai tampak. Dalam menjelaskan hal ini,
Cardoso lebih tertarik untuk menganalisis faktor-faktor sosial-politik dalam
proses ketergantungan. Pengamatannya terutama diarahkan kepada perjuangan kelas,
konflik antarkelompok, dan gerakan politik (Cardoso 1973, 1977; Cardoso dan
Faletto 1979).
Menurut
Cardoso, masalah-masalah pembangunan di negara dunia ketiga tidak semata-mata
berkaitan dengan substitusi impor, perbedaan strategi pertumbuhan,atau faktor
pasar internal dan eksternal, tetapi berhubungan dengan kesadaran dangerakan
masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Menurut Cardoso, adalah
perjuangan dan pergerakan kelas, redefinisikepentingan publik, dan aliansi
politik diantara berbagai kekuatan untuk memelihara kestabilan struktur yang
ada dan membuka peluang untuk terjadinyatransformasi. Berkenaan dengan hal ini,
Cardoso dan Faletto (1979) telah melakukan studi tentang peranan perjuangan
politik internasional dalam situasiketergantungan. Mereka menemukan bahwa
hubungan antara kekuatan-kekuatan eksternal dan internal membentuk sebuah
jaringan yang cukup kompleks. Jaringan ini, menurut mereka, berakar pada
berbagai kepentingan yang dimiliki oleh kelas-kelas dominan di dalam negeri dan
internasional, disamping tekanan-tekanan domestik oleh kelompok-kelompok yang
lebih lemah (Deddy T.Tikson 75-77.2005)Selanjutnya Peter Evans (1979)
mengemukakan sebuah tesis tentang adanya transformasi bentuk ketergantungan
klasik (Frank) kepada bentuk baru yang diaberi label “dependent development.”
Bentuk
ketergantungan yang baru ini ditandai oleh adanya aliansi antara kapitalis
internasional, kapitalis domestik, danpemerintah. Evans menyebut aliansi ini
sebagai “triple alliance.”Di dalam aliansiini, pemerintah memainkan peranan
yang menentukan dalam mengatur aliansiantara kapitalis lokal dengan kapitalis
internasioanal (fungsi regulasi). Dalam hal ini, pemerintah menggunakan
kekuasaan ekonominya yang besar yang ditunjang oleh otoritas politik untuk
mengatur dan mengarahkan pembangunan nasional. Pemerintah hendaknya memiliki
kemampuan untuk mencegah terjadinya pengerukan keuntungan oleh perusahaan-perusahaan
transnasional yang mengorbankan kapitalis lokal. Namun demikian, proses
interaksi di dalam aliansi tiga pihak ini selanjutnya menjadi kompleks, karena
masing-masing pihak memiliki kepentingan yang dapat mengarah ke situasi
konflik.
D.
PT.
Freeport
Freeport-McMoRan Copper & Gold
Inc., atau Freeport NYSE: FCX adalah
salah satu produsen terbesar emas di dunia. Perusahaan Amerika ini
memiliki beberapa anak perusahaan termasuk
PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals and Atlantic Copper, S.A. Perusahaan
Amerika Freeport Sulphur yang bermarkas di New Orleans adalah perusahaan asing
pertama yang memperoleh ijin usaha dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967,
setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh Presiden Soeharto. PT Freeport
Indonesia merupakan pengelolah Tambang Grasberg di Papua, Indonesia, yang
merupakan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Tambang ini juga
mengandung tembaga dan perak untuk pasar dunia. Bagi rezim Soeharto, Freeport
adalah faktor penting baik di bidang politik dan ekonomi. Presiden Soeharto
menggambarkan Freeport sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar, investor
terbesar dan terlibat dalam kegiatan sosial terbesar di Indonesia. Dari segi
methode pertambangan dan segi investor asing, adalah perusahaan yang paling kontroversial.
Ini berkembang menjadi hubungan yang
mendukung bersama antara Freeport dan pemerintah Indonesia, militer dan elite
politik nasional. Sebagai imbalannya, Freeport secara politis dan militer
dilindungi oleh pemerintah. Dukungan keuangan membuat Freeport berani mangambil
resiko melanggar Undang-Undang US-Foreign Corrupt Practices Act. Karena peran
ekonomi kunci di Jakarta dan Papua Barat, masalah kemerdekaan Papua Barat dari
Indonesia terkait erat dengan masa depan Freeport. Kekayaan perusahaan ini
berasal dari persetujuan izin penambangan yang ditandatangani pada 1967.
Lisensi awal dijual kepada perusahaan AS Freeport McMoRan Copper & Gold
Inc., termasuk hak penambangan untuk 30 km². Perusahaan ini memiliki hak
penambangan eksklusif selama 30 tahun untuk wilayah tersebut dari saat
pembukaan tambang (1981). Penduduk setempat telah mencoba percobaan kekerasan,
namun segera dikendalikan. Pada 1989 lisensi
pertambangan diperluas 25.000 km². Pada 2003 perusahaan tersebut dipaksa
mengakui telah membayar militer Indonesia untuk mencegah pemilik tanah asal
jauh dari tanah mereka. Pada 2005, New York Times melaporkan bahwa perusahaan
tersebut telah membayara hampir 20 juta dolar AS selama periode 1998-2004 yang
didistribusikan di antara pejabat dan satuan, dengan satu individu menerima
sampai 150.000 ASD. Perusahaan menanggapi bahwa "tidak ada alternatif
untuk ketergantungan kepada militer dan
polisi Indonesia mengenai hal ini". Freeport-McMoRan memegang 90,64
persen saham dari anak perusahaan PT
Freeport Indonesia. Sisanya dimiliki oleh pemerintahan di Jakarta. Pada
awal 2006 sejumlah masyarakat Papua melakukan protes di Jakarta dan
Timika. Mereka menuntut PT Freeport
meningkatkan pembagian hasil perusahaan tersebut dari 1% hingga 7%. Pada Juli
2013, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat mengadakan pertemuan dengan pemerintah pusat yang pada
intinya meminta pemerintah pusat mengindahkan permintaan masyarakat Papua yang
menginginkan pemindahan kantor Freeport Indonesia dari Jakarta ke Papua,
termasuk dalam proses pengelolaan
tambang mentah menjadi bahan siap pakai, sehingga secara langsung dapat
membangun infrastruktur di Papua.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Ketergantungan Ekonomi
Papua terhadap Sektor Pertambangan PT. Freeport
Papua merupakan provinsi yang kaya akan
potensi sumbe daya alam terutama sektor pertambangan. Sektor pertambangan telah
mampu menyumbang 50 persen perekonomian di Papua dengan komoditas tembaga,
emas, minyak dan gas. Selain sektor pertambangan, kegiatan perekonomian masyarakat
papua pada sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Kinerja perekonomian
Provinsi Papua selama kurun waktu 2006-2013 berfluktuatif, dengan laju
rata-rata sebesar 1,93 persen. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi di provinsi
ini mengalami perlambatan sebesar 17,14 persen, kemudian mencapai laju
pertumbuhan tertinggi tahun 2009 sebesar 22,22 persen (Gambar 1). Kinerja
perekonomian yang fluktuatif ini dipengaruhi oleh produksi sektor pertambangan
dan penggalian yang mendominasi kegiatann perekonomian di wilayah ini. Pada
tahun 2013 besarnya kontribusi Provinsi Papua terhadap pembentukan PDRB Wilayah
Papua sebesar 65,52 persen, dan menyumbang 1,16 persen terhadap PDB nasional.

Kinerja
pertumbuhan ekonomi daerah yang diukur dari besarnya PDRB per kapita di Papua
selama kurun waktu tahun 2006-2012 memang meningkat, kesejahteraan di Provinsi
Papua juga meningkat dan relatif baik secara nasional sejak tahun 2009. Jika
pada tahun 2006 rasio antara PDRB perkapita Papua dan PDB nasional sebesar
136,27 persen, maka pada tahun 2012 rasionya menurun menjadi 73,86 persen.
Namun hal ini belum memberikan dampak positif terhadap kesenjangan antar daerah
di Indonesia. Papua masih merupakan daerah yang bisa dikatakan terpencil di
banding provinsi-provinsi yang lain. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi kurang
memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di
Provinsi Papua Selama kurun waktu 2006-2013 persentase penduduk miskin di
provinsi ini berkurang sebesar 8,16 persen dan masih menempati urutan tertinggi
secara nasional serta lebih tinggi dari persentase penduduk miskin nasional
(Gambar 4). Kemiskinan di Papua disebabkan karena kemiskinan struktural, yaitu
akibat struktur sosial dalam masyarakat. Masyarakat Papua kurang mampu
memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah dikarenakan terbatasnya
pengetahuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki

Penyebab
permaslaahan Pembangunan dipapua yaitu tingginya ketergantungan pada sektor
primer (Pertambangan). Penambangan PT Freeport Indonesia di Provinsi Papua
menarik banyak pekerja pada kegiatan operasional penambangan ataupun
usaha-usaha lain yang berkaitan dengan pertambangan. Sebagai perusahaan tambang
terbesar di Papua, perusahaan ini mempekerjakan sekitar 7.600 karyawan. Dari
jumlah tersebut, 26 persen merupakan penduduk lokal Papua. Kondisi sumber daya
manusia Papua yang kurang memiliki keterampilan dan pendidikan untuk bekerja
menggunakan teknologi modern menjadi kendalanya. Kinerja sektor pertambangan
dan penggalian merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua.
Naik turunnya produksi PT. Freeport Indonesia sangat menentukan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Strukur perekonomian Provinsi Papua tahun 2013
didominasi oleh kontribusi sektor pertambangan dan penggalian sebesar 48,80,
sektor pertanian sebesar 11,99 persen, dan sektor konstruksi sebesar 11,90. Persen.
Peranan sektor industri pengolahan hanya memberikan kontribusi sebesar 1,69
persen, dan merupakan kontributor kedua terendah setelah sektor listrik Gas dan
air minum sebesar 0,17
Dari sisi
pengeluaran (penggunaan) pendorong utama pertumbuhan ekonomi selama 2006-2013
adalah pada ekspor impor. Peningkatan penjualan komoditas pertambangan dari PT
Freeport Indonesia menjadi pendorong utama peningkatan ekspor di Provinsi
Papua. Jika terjadi penurunan produksi, hal ini tentunya akan berdampak
langsung terhadap kinerja ekspor impor dan mempengaruhi perekonomian daerah.
Perekonomian daerah memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor impor produk
pertambangan. Besarnya kontribusi nilai impor, ekspor, dan konsumsi rumah
tangga mendominasi struktur perekonomian Papua, sedangkan investasi (PMTB) yang
sangat penting bagi pertumbuhan daerah kontribusinya berada di bawah ketiga
sektor tersebut. Investasi berperan meningkatkan stok kapital di daerah yang
digunakan untuk berproduksi. Tingkat investasi yang rendah akan diikuti oleh
terbatasnya kemampuan daerah untuk memacu peningkatan produksi
B.
Analisis
Penyebab Keterbelakangan Pembangunan Ekonomi di Papua Sebagai Akibat terhadap
Ketergantungan Pertambangan Freeport
Tori
Ketergantungan (struktur) mengungkapkan bahwa kemiskinan yang terdapat di
negara-negara Dunia Ketiga adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang
bersifat eksploitatif, dimana yang kuat melakukan eksploitasi terhadap yang
lemah. Negara yang memiliki sumber produksi dengan kemampuan rendah untuk
melakukan pengolahan sumber-sumber tersebut berpotensi menjadi negara kelas
bawah. Negara maju yang mempunyai sumber-sumber produksi dan teknologi serta
modal akan tetapi memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan pengolahan yang
berlebihan atas sumber yang dimilikinya lebih memilih untuk bekerja sama dengan
negara kelas di bawahnya. Menurut Paul
Prebisch keterbelakangan dalam pembangunan negara karena hubungan yang tidak sehat antara
negara-negara pusat dan pinggiran. Sebagai
akibat adanya kerjasama antara modal asing dan pemerintah setempat, muncullah
kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dan borjuasi lokal, dengan
mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut. Kegiatan ekonomi
praktis merupakan kegiatan ekonomi modal asing yang berlokasi di negara
satelit. Fungsi kaum borjuasi lokal adalah sebagai mitra junior yang dipakai
sebagai payung politik, serta pemberi kemudahan bagi beroperasinya kepentingan
modal asing tersebut, melalui kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Kebijakan pemerintah
yang didukung oleh kaum borjuasi ini adalah kebijakan yang menghasilkan
keterbelakangan karena kemakmuran bagi rakyat jelata dinomor-duakan. Tiga komponen
utama pada teori Frank, yaitu: modal asing, pemerintah lokal di negara satelit
dan kaum borjuasi.
Masuknya PT.
Freeport Indonesia di Provinsi Papua sebagai konsesi globalisasi ekonomi yang
diusung oleh kebijakan nasional dengan dalih percepatan pembangunan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. PT Freeport merupakan perusahaan modal asing asal Amerika
Serikat yang mengoperasikan tambang tembaga, emas, dan perak dan berlokasi di
Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Pertambangan PT. Freeprot adalah salah satu kasus yang
paling parah dihadapi Indonesia yang diakibatkan oleh politik yang salah selama
puluhan tahun dari rezim militer orde baru. Aktifitas pertambangan yang
dilakukan oleh PT. Freeprot belum memberikan pengaruh positif bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat Papua dan Mimika. Padahal PT. Freeport melalui
keberadaan mereka telah mengambil hak tanah ulayat masyarakat Mimika yang telah
lama menjadi sumber mata pencaharian dan apresiasi kultural masyarakat
setempat. Kehadiran PT. Freeport bahkan menimbulkan dampak-dampak negatif
seperti marjinalitas masyarakat lokal Mimika, terjadinya konflik pertentangan
kepemilikan atas tanah adat, dan dampak kerusakan lingkungan yang parah.
Dependensi memperlihatkan
ketidaksetaraan antara negara maju dan berkembang terutama di bidang ekonomi.
Freeport telah memberikan banyak keuntungan bagi Amerika yang merupakan
eksportir emas utama dengan produksi 230.000 metrik per ton/hari. Sejak awal
pembuatannya angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meskipun
nilainya masih disaingi oleh beberapa komoditas lainnya di Amerika, namun nilai
emas ini merupakan penopang perekonomian Amerika yang karena harganya stabil di
pasar global.
Berdasarkan
kenyataan, Indonesia cenderung dirugikan dalam kerjasama negara ini, apa lagi
dengan terlihatnya kondisi di wilayah timur Indonesia. Fasilitas infrastruktur dan pendukung
lainnya, tentu sangat timpang dengan negara maju dan negara kita kelas ketiga.
Freeport telah mempekerjakan sekitar 8.000 pekerja dimana 60% adalah asli
Papua, dan memberikan pendapatan kepada daerah Papua sekitar 5 milyar dolar
Amerika pertahunnya. Pajak yang seharusnya dibayarkan adalah 6% tetapi
pemerintah hanya menerima 1% dari setiap
hasil produksi tambang dari total milyaran dollar Amerika dari produksinya
pertahun. Perbandingan kesejahteraan antara karyawan Freeport di Indonesia
dengan di negara lain pun jauh. Di luar Indonesia karyawan dibayar 10 sampai
dengan 70 dollar perjamnya sedangkan Indonesia hanya 0,98 sampai dengan 2
dollar Amerika perjam-nya. Menunjukkan karyawan di Indonesia sangat murah
dibanding negara lain jika kita sedikit berangan adanya investor yang masuk di
Indonesia mendapatkan semacam keistimewaan dari kontrak kerja. Dengan begitu
PT. Freeport dapat menentukan upah yang murah bagi karyawan yang akan direkrut
menjadi pekerja PT. Freeport.
Pada tahun 2002,
BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan
rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Dari
tahun ke tahun angka kemiskinan di Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua memang
mengalami penurunan, namun hal tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dari sektor pertambangan yang meningkat
drastis. Berdasarkan berita resmi Statistik Provinsi Papua yang dirilis pada 3
Maret 2008, perekonomian Papua pada triwulan IV 2007 mengalami peningkatan PDRB
yaitu sebesar 11,30 trilyun rupiah. Namun jumlah kemiskinan di Provinsi Papua
dari tahun 2007 hingga 2008 hanya mengalami penurunan sekitar 5.25%. Sehingga
jika dikaitkan dengan nilai-nilai inti pembangunan, maka jelas terlihat
bahwasanya pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan investor asing di Papua
tidaklah memberi dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat
disekitarnya, malah justru mengakibatkan keterbelakangan.
Kesenjangan dan
keterbelakangan masyarakat papua dapat dilihat melalui adanya faktor “triple
alliance yaitu pemerintah, perusahaan asing dan pemangku kepentingan masyarakat
lokal dapat dilihat dari sejarah masuknya perusahaan asing dan politik ekonomi
yang terjadi hingga saat ini. kesenjangan trsebut tidak terlepas dari kontrak
Kerja PT. Freeport Indonesia dengan Indonesia sejak zaman orde baru. Dilihat
pada pemerintah rezim orde baru yakni pada awal periode pemerintahan Soeharto,
mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi
meningkatkan pembanguan ekonomi di Indonesia dengan memfasilitasi keberadaan PT.
Freeport tanpa mempertimbangkan dampak yang lebih lanjut terhadap kehidupan
bermasyarakat di Kabupaten Mimika. Rezim orde baru mendukung upaya investasi PT.
Freeport di Papua dengan cara melahirkan
dua undang-undang yaitu, Undang Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan. Berdasarkan kedua undang undang tersebut, lahirlah Kontrak Karya
(KK) I dengan rezim militer orde baru yang dilaksanakan pada 5 April 1967 dan
berlaku selama 30 tahun, terhitung sejak dimulainya aktifitas eksplorasi pada
bulan Desember 1967. KK I tersebut terbilang sangat longgar, karena hampir
sebagian besar materi kontraknya merupakan usulan yang diajukan oleh PT. Freeport
Indonesia selama proses negosiasi antara Indonesia dan perusahaan asing tersebut,
artinya kebijakan lebih banyak disusun untuk kepentingan PT. Freeport Indonesia.
KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi
Freeport.
Pertama, Perusahaan
yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan
yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika
Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan
tidak tunduk pada hukum Indonesia. Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai
lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di
Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum
adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah
membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Limbah tersebut yang memiliki kandungan zat berbahaya merusak tanaman dari masyarakat
Papua.
Kedua, Pengaturan
perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang
berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan
dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar
PBB atau PPN. Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang
diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik
terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. PT. Freeport pada waktu itu
tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan
lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah. Tidak ada kewajiban bagi
PT. Freeport Indonesia untuk melakukan community development. Akibatnya,
keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung
terhadap masyarakat setempat. PT. Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan
manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. PT.
Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3
tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun,
Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan
meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis
pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas
kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang
sangat besar terus diraih PT. Freeport, hingga KK I diperpanjang menjadi KK II
yang tidak direnegosiasi secara optimal, sehingga Indonesia tidak mendapatkan
manfaat yang sebanding dengan keuntungan besar yang diraih PT. Freeport. Saat itu
aktivitas eksploitasi PT. Freeport dijalankan sesuai KK II yang ditandatangani
pada tanggal 30 Desember 1991 yang memberikan hak kepada PT Freeport untuk
beroperasi selama 30 tahun dengan kemungkinan perpanjangan selama 2×10 tahun.
Berdasarkan data
yang dirilis dalam website PT Freeport Indonesia dinyatakan bahwa pada tahun
1991 PT Freeport telah memiliki kontrak karya II seluas 2,6 Juta Ha. Dalam hal
ini, 2,6 Juta Ha terbagi dalam wilayah eksplorasi dan ekploitasi PT Freeport di
wilayah Papua. PT Freeport pada tahun 2012 telah menyisakan 212.950 Ha dengan
rincian 10.000 wilayah eksploitasi dan 202.950 wilayah eksplorasi. Artinya
dalam rentang 1991-2012 PT Freeport telah melakukan eksploitasi dan eksplorasi
sebesar 92,2% dari total keseluruhan kontrak karya yang dilakukan. Sementara itu,
PT Freeport pertahun dapat memproduksi tembaga: 670 juta pound, emas: 750 ribu
ounces dan perak: 1,3 juta ounces. Dan PT Freeport Indonesia mendapatkan
keuntungan sebesar 100 Triliun. Sedangkan yang didapat Indonesia dari pajak dan
royalty per tahun ke Indonesia hanya sebesar Rp. 5,6 Triliun.
Kondisi tersebut
menjadi cerminan bahwa sebagai korporasi internasional milik imperialism AS, PT
Freeport telah menngeruk kekayaan alam khususnya di Kabupaten Mimika, Papua.
Dari eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan, PT Freeport telah menduduki
posisi tertinggi dalam investasi sektor tambang dengan presentase 94% lebih
besar dibanding perusahan tambang lain atau setara 5% dari total keseluruhan
investasi di Indonesia dengan jumlah Investasi 86 triliun (tahun 2012).
Tentunya Investasi yang besar ini menjadi sebuah wujud nyata dominasi
imperialisme AS dalam mengeruk sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam
hal ini termanifestasikan dengan royalti yang diberikan dalam bentuk royalti
Tembaga menjadi empat persen, emas menjadi 3,75 persen dan perak menjadi 3,25
persen (MoU Juli 2014). Artinya dengan royalti yang sangat kecil ini menjadi
sebuah gambaran bagaimana pemerintahan Indonesia yang senantiasa sepenuhnya
melayani kepentingan imperialisme untuk memberikan keuntungan yang besar
dibanding mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan rakyat papua hanya menjadi buruh
murah. Sementara masyarakat Papua yang melawan keberadaan PTFI yang menghisap
dan menindas, malah disebut sebagai manusia barbar/liar yang anti pembangunan
oleh imperialism AS dan pemerintahan berkuasa di Indonesia. Sehingga selama
adanya PTFI, pelanggaran-pelanggaran HAM berat di Papua hingga saat ini masih
terus berlangsung, mulai dari status DOM, intimidasi, pengusiran, penembakan
dan pembunuhan.
Keberadaan PT
Freeport Indonesia sendiri telah menghadirkan berbagai dampak bagi kehidupan
masyarakat Papua, Khususnya hilangnya tanah-tanah ulayat dari suku-suku yang
ada sebagaimana konsesi hak tanah seluas
2,6 juta Ha. Sementara tercatat Suku Amungme yang harus kehilangan
wilayahnya karena keberadaan PT Freeport Indonesia. Kondisi ini juga diperparah
dengan intimidasi hingga pembunuhan secara barbar yang dilakukan oleh pihak
militer untuk melindungi kepentingan PT Freeport. Dengan kata lain, PT Freeport
tidak akan segan-segan melakukan aksi-aksi sapu bersih dengan menggunakan
Militer untuk mengamankan ataupun menjaga wilayah eksplorasi dan eksploitasi
tambangnya.
Disini, Indonesia
terkesan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat Adat Suku Amungme dan 6 suku
lain yang disebut sebagai pemilik tanah, emas, tembaga, hutan yang kemudian dikuasai
oleh pihak perusahaan. Dalam aksi protes, masyarakat selalu berhadapan dengan
pihak aparat keamanan (TNI/POLRI), yang bertugas mengamankan Perusahaan, maka
terjadilah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jika dilihat dari kasus tersebut
sangat besar kemungkinkan adanya politik uang di tubuh TNI/ POLRI yang
dilakukan oleh PT. Freeport terhadap pengamanan daerah pertambangan. Selain
itu, kehidupan masyarakat juga terancam dengan keberadaan PT. Freeport asal
Amerika tersebut, karena masyarakat yang bukan pekerja PT Freeport bisa diusir,
bahkan di tembak jika mendekati area pertambangan tanpa izin. walaupun
masyarakat Papua hanya mencari hasil hutan di Sekitar PT Freeport. Disitu
terlihat tanah yang di eksplorasi oleh PT. Freeport merupakan sumber
penghasilan, sumber kehidupan bagi masyarakat papua. Padahal apabila masyarakat
papua dapat hidup dari tanah tersebut atas bantuan pemerintah dapat memberikan
kesejahteraan terhadap masyarakat Papua.
Jumlah buruh PT
Freeport berjumlah kurang lebih 24.000 anggota. Sementara upah buruh di
Freeport Indonesia disebut-sebut paling murah dibandingkan anak usaha Freeport
yang ada di negara lain seperti di Amerika selatan dan eropa. Saat ini upah
buruh di PT Freeport hanya US$5-6 per jam, sementara buruh PT Freeport di
Negara lain rata-rata mendapatkan upah sekitar 40 juta/bulan. Padahal Freeport
Indonesia mengungguli perusahaan dalam kelompok Freeport yang beroperasi di
Amerika Selatan dan Eropa untuk memberikan pemasukan bagi perusahan induknya,
Freeport-McMoran. Pemerintah justru memperparah nasib buruh tambang, dengan
mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 15 Tahun
2005 tentang jam kerja pekerja tambang. Dalam regulasi itu disebutkan, pekerja
tambang bisa bekerja selama 12 jam per hari selama 10 minggu berturut-turut.
Sementara upah buruh yang diperoleh karyawan Freeport masih sama.
Pada dampak
lingkungan, PT Freeport Indonesia tidak hanya memiliki dampak pada hilangnya
tanah-tanah suku-suku di Papua namun uga berdampak pada lingkungan. Berdasarkan
data yang dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), persoalan
yang timbul setelah PT.Freeport Indonesia beroperasi adalah pencemaran
lingkungan hidup baik mulai dari gunung biji yang dikenal oleh masyarakat adat Amungme sebagai
“Nemang Kawi” (Anak Panah Putih), Sungai Wanagong sampai ke dataran rendah
milik masyarakat suku Kamoro yaitu sungai Aikwa. Kini ribuan hektar hutan kayu,
sagu rusak dan sejumlah habitat sungai menjadi punah, bahkan manusia pun ikut
kena dampak, akibat limbah tambang yang di buang ke sungai Aikwa. Sedangkan
dampak sosial-ekonomi dari pembuangan limbah tambang ke sungai Aikwa terhadap
kedua suku tersebut maupun suku-suku lain dari Papua, dan Indonesia dapat
terlihat dekat dengan mata dimana kota Timika yang dulunya banyak dusun sagu
yang memberi makan bagi masyarakat adat Kamoro, dan suku-suku lain dari Papua
maupun Indonesia yang tinggal di kota Timika telah rusak. Akibatnya masyarakat
tidak bisa mendapatkan sagu sebagai sumber makanan pokok mereka.
Dalam
pelaksanaannya, KK II ini pun mengandung unsur Kolusi Korupsi dan Nepotisme
(KKN), sebab kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya
I baru berakhir pada tahun 1997 yang dilakukan dengan sangat tertutup dan tidak
melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat Mimika dan pemilik hak ulayat. KK
II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial
tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Kemudian kita bisa lihat pada saat ini kasus
yang baru-baru terjadi saat ini mengenai pencatutan presiden Jokowi oleh Setya
Novanto tentang perpanjangan Freeport.
Kita bisa melihat bagaimana politik ekonomi yang tidak sehat antara pemerintah, asing dan pemangku
kepentingan tentang perpanjangan PT. Freeport sebagai indikasi bahwa
keterbelakangan terjadi bisa terjadi karena
faktor tersebut.
Perubahan yang
terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan perpajakan. Sementara itu,
besarnya royalti tidak mengalami perubahan yang berarti bagi masyarakat Papua,
walaupun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Ketimpangan lainnya
adalah, di dalam Kontrak PT. Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara
eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengakhiri
Kontrak PT Freeport Indonesia jika PT Freeport Indonesia tersebut dinilai
melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak.
Sebaliknya, pihak PT. Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut
jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya
sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Papua
merupakan provinsi yang kaya akan potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangan
telah mampu menyumbangkan 50 % perekonomian di Papua dengan komuditas tembaga,
emas, minyak dan gas. Masuknya investor (PT. Feeport) memang telah memberikan
pengaruh terhadap pendapatan perkapita Papua. Namun, hal tersebut belum dapat
mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan antara provinsi di Indonesia.
Tingginya ketergantungan pada sektor pertambangan membuat Papua mengandalkan
pertambangan sebagai pendapatan utama Papua
Berdasarkan
kasus Freeport di Papua pada dasarnya menggunakan konsep pembangunan modernisasi,
eksploitasi sumber daya alam oleh
perusahaan asing (Amerika) yang terjadi di Papua. Pembangunan yang
dilakukan di atas tanah masyarakat Papua tidak membawa kemajuan bagi
masyarakatnya. Kerjasama Indonesia dengan Perusahaan Asing telah menjadi
penghambat bagi kemajuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Kerjasama antara
pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport selalu memberikan keuntungan bagi PT.
Freeport. Freeport telah memberikan banyak keuntungan bagi Amerika yang
merupakan eksportir emas utama dengan produksi 230.000 metrik per ton/hari.
Sementara tahun 2002, sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan
rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Kesenjangan
dan keterbelakangan masyarakat papua disebabkan adanya faktor “triple alliance
yaitu pemerintah, perusahaan asing dan pemangku kepentingan masyarakat lokal
dapat dilihat sejak sejarah masuknya perusahaan asing dan politik ekonomi yang
terjadi hingga saat ini. Adanya hubungan yang tidak sehat antara ketiga pihak yang
saling ingin memperoleh menimbulkan
kesenjangan ekonomi di Papua. Adanya pembuatan kebijakan, fasilitas dan hak-hak
yang istimewa dari PT. Freeport telah menyebabkan ketergantungan dan
keterbelakangan pembangunan Indonesia khususnya pada provinsi Papua.
Dengan
begitu benar adanya bahwa teori ketergantungan tentang pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan investor asing seperti
PT. Freeport dengan perusahan pengekploitasi SDA terbesar dunia tidaklah
memberi dampak terhadap kesejahtraan masyarkatnya, melaikan memiskin dan
menelantarkan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya politik ekonomi yang
dilakukan oleh pemeritah Indonesia, PT Freeport sebagai investor asing dan pemangku
kepentingann pada masyarakat lokal Papua. pembangunnan yang dilakukan indonesia
dengan kerjasam PT. Freeport hanya menciptakan ketergantungan dan menghambat
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi provinsi Papua.
B.
Saran
1. Perlunya
kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong sistem perekonomian berbasis
kemasyarakatan dengan memberikan partisipasi yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat untuk ikut dalam proses pembangunan.
2. Reformasi
dan revitalisasi BUMN untuk menuju konsep industrialisasi produk
3. Minimalisir
produk impor yang dianggap kurang bermanfaat untuk masyarakat Indonesia dan
manfaatkan produk lokal yang ada.
4. Kebijakan
pembatasan ekspor bahan-bahan atau kekayaan alam yang dapat diproduksi di
Indonesia.
5. Perlunya
kebijakan pemerintah untuk merevisi kontrak kerja dengan perusahaan-perusahaan
asing yang lebih menguntungkan pihak swasta.
6. Perlunya
keberanian khususnya para pemimpin Negara untuk berinisiatif dan
mengaktualisasi kebijakan nasionalisasi di sektor migas dan pertambangan.
DAFTAR PUSTAKA
Moleong,
J.Lexy. 2011. Metode Penelitian
Kualitatif Edisi Revisi.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Budiman, arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
WALHI. 2006. Dampak LingkunganHIsup Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport di Papua.
Jakarta
Solihin, 2014. Jurnal Pengaruh Perusahaan Asing Terhadap Pembanguanan Indonesia, Universitas
Riau, halaman 7-12
Hadipranata. 2014. Jurnal Budaya Organisasi : Studi Kasus World System Freeport Indonesia.
pogram Pasca Sarjana Magister Management Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, halaman 4-7
https://www.academia.edu/6951129/pengaruh_perusahaan_asing_terhadap_pembanguanan_indonesia
di akses melalui internet pada tanggal 30 Desember 205, pukul 20:02 WIB
https://www.academia.edu/8756509/Teori_Dependensi
di akses melalui internet pada tanggal 30 Desember 205, pukul 20:20 WIB
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/10/185512226/Terbanyak.di.Indonesia.4.000-an.Desa.di.Papua.Berstatus.Sangat.Tertinggal
Comments
Post a Comment