PAPER “ANALISIS PENYEBAB KETERBELAKANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PAPUA SBAGAI AKIBAT TERHADAP KETERGANTUNGAN PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT ”





PAPER
“ANALISIS PENYEBAB KETERBELAKANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PAPUA SBAGAI AKIBAT TERHADAP KETERGANTUNGAN PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT ”





Mata Kuliah : Teori Pembangunan
Dosen Pengampu : Yanuardi, M.Si.


Disusun Oleh:

Agung Tri Laksono     13417141024
Kelas : Ilmu Administrasi Negara (A)



JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015

ABSTRAK



Papua merupakan provinsi yang kaya akan potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangan telah mampu menyumbangkan 50 % perekonomian di Papua dengan komuditas tembaga, emas, minyak dan gas. Masuknya investor (PT. Feeport) memang telah memberikan pengaruh terhadap pendapatan perkapita Papua. Namun, hal tersebut belum dapat mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan antara provinsi di Indonesia. Tingginya ketergantungan pada sektor pertambangan membuat Papua mengandalkan pertambangan sebagai pendapatan utama Papua.
Freeport merupakan perusahaan tambang emas yang berada di  Tembaga Pura, Kabupaten  Mimika, Provinsi Papua. Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah memberikan keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mendapat keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Adanya faktor triple alliance yang dilakukan pemerintah, perusahaan asing dan masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan merupakan salah satu dari penghambat atau kegagalan pembangunan ekonomi di Indonesia pada khususnya di Papua. Adanya hubungan yang tidak sehat antara ketiga pihak yang saling ingin memperoleh  menimbulkan kesenjangan ekonomi di Papua. Adanya pembuatan kebijakan, fasilitas dan hak-hak yang istimewa dari PT. Freeport telah menyebabkan ketergantungan dan keterbelakangan pembangunan Indonesia khususnya pada provinsi Papua.






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejak diimplementasikan gagasan pembangunan modern yang merupakan ciri pembangunan utama di Indonesia pada rezim orde baru, indikasi Trickle Down Effect tidak kunjung mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat seperti yang dikembangkan dalam tataran ideal. Masuknya perusahaan multinasional yang disinyalir bisa menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi yang mendukung gagasan pembangunan modern tersebut, pada kenyataannya justru menimbulkan dampak sosial, lingkungan, dan politik di dalam masyarakat, yang pada akhirnya mengarah pada munculnya potensi konflik, kesenjangan dan kerusakan lingkungan.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan Sumber daya Alamnya. Apabila potensi kekayaan alam dapat dimanfaatkan dengan maksimal, Indonesia dapat menjadi negara yang makmur, bahkan dapat mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika. Akan tetapi hal tersebut masih menjadi angan-angan (utopis) untuk saat ini. Hal tersebut disebabkan sistem pengelolaan yang tidak tepat atau faktor-faktor lain yang tidak lepas dari kondisi transisi politik Indonesia tahun 1965 dari Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto ketika itu membuka pasar yang seluas-luasnya bagi investor terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia setelah sebelumnya pada masa Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi aset terhadap perusahaan asing yang ada di Indonesia. Salah satu bentuk kemudahan perusahaan asing masuk di Indonesia adalah dikeluarkanya  UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti dengan keluarnya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, dan satu tahun setelah itu disusul dengan pengesahaan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Lahirnya paket regulasi tersebut telah menarik minat investor pertambangan asal Amerika Freeport Mining Inc., untuk menanamkan modalnya di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua untuk melakukan eksploitasi tembaga. Karena kondisi Indonesia dalam masa transisi yang katanya membutuhkan dukungan ekonomi dan juga dengan dalih promosi investasi Indonesia ke luar negeri, maka Pemerintah Indonesia akhirnya menerima tawaran investasi dari Freeport Mining Inc. untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia dengan mendirikan PT. Freeport Indonesia (PTFI). Kerjasama Pemerintah dan PT. Freeport pun dituangkan dalam kontrak karya (KK) pertamanya pada tahun 1967 dengan lama operasi 30 tahun, dan pada tahun 1988 ditemukan cadangan Grasberg akhirnya pada tahun 1991 dilakukan KK. Kerja sama tersebut.
Namun,  Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Adanya PT. Freeport juga menimbulkan ketergantungan terhadap pertambangan emas. Pada hal jika dilihat potensi kekayaan alam papua baik dari sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan sangat besar. Masuknya PT. Freeport justru menimbulkan ketimpangan sosial bahkan konflik sosial. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Padahal pendapatan utama dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas.
Besarnya sumber daya alam di  daerah papua dengan tidak diikuti kemajuan pembangunan daerah sekitar Papua menarik penulis untuk melakukan penelitian dan analisis mengenai penyebab keterbelakangan pembangunan ekonomi Indonema Freeport sia khususnya pada provinsi Papua sebagai SDA yang melimpah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis ingin mengkaji mengenai Pertambangan PT. Freeport yang diharapkan sebagai pendorong kemajuan pembangunan Indonesia khususnya papua, belum mampum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua namun justru menimbulkan kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi masyarakat Papua. Dengan begitu bagaimana ketergantungan ekonomi Papua jika dilihat dari sektor pertambang emas PT. Freeport? apakah penyebab keterbelakangan pembangunan ekonomi di Papua terhadap pertambangan emas PT. Freeport?
Tujuan
2.      Untuk mengetahui ketergantungan ekonomi Papua terhadap Sektor Pertambangan Emas PT. Freeport
3.      Untuk mengetahui penyebab keterbelakangan pembangunan ekonomi di Papua terhadap pertambangan emas PT. Freeport.
C.    Manfaat
Penulisan paper ini diharapkan kegunaan dan kebermanfaatan baik secara teoritis maupun secara praktis,sebagai berikut:
1. Manfaat untuk mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penelitian-penelitian yang lain dengan tema yang relevan sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran sekaligus menjadi bahan kajian dalam memahami tentang faktor penghambat kemajuan dan  keterbelakangan negara Indonesia khususnya pada masyarakat Papua dalam kasus pertambangan Freeport di Papua
2. Manfaat bagi masyarakat luas, dapat memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai faktor penyebab penghambat kemajuan dan  keterbelakangan negara Indonesia khususnya pada masyarakat Papua.
3. Manfaat bagi pemerintah, penelitian mengenai permasalahan yang di hadapi Indonesia, faktor penghambat kemajuan dan  keterbelakangan negara Indonesia khususnya pada masyarakat dalam kasus pertambangan Freeport di Papua diharapkan memberikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam melakukan perubahan pembangunan dan pembuatan regulasi kebijakan.


















BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Teori Analisis
Nasution mengemukakan bahwa analisis data dan penafsiran data dapat diuraikan sebagai berikut : “Analisis adalah proses menyusun dan menggabungkan data ke dalam pola, tema, kategori, sedangkan penafsiran adalah memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, dan mencari hubungan antara beberapa konsep. Penafsiran menggambarkan perspektif peneliti bukan kebenaran.Analisis dan penafsiran data dalam penelitian kualitatif pada dasarnya bukan merupakan hal yang berjalan bersama, keduanya dilakukan sejak awal penelitian.”(Nasution, 1996:126).
Analisis data dilakukan agar data yang telah diperoleh akan lebih bermakna. Analisis data merupakan proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih  mudah dibaca dan diinterprestasikan. Bagdan dan Biklen (1992:145) menjelaskan analisis data adalah proses mencari secara sistematis dan mengatur catatan wawancara, catatan lapangan, dan rider lain yang dihimpun untuk mengiring pengertian. Analisis tersebut melibatkan kerja dengan data, mengaturnya, memisahkan kedalam unit-unit yang dapat dikelola, memadukannya, mencari-cari pola memenuhi hal-hal penting dan apa yang diketahui dan memutuskan apa yang akan disampaikan kepada orang lain. Untuk menyajikan data agar lebih bermakna dan mudah difahami, maka langkah analisis data pada penelitian ini digunakan analisis model interaktif (Interactive Model Analysis) dari Miles dan Huberman (1984:21–23).

B.     Pembangunan
Menurut Inayatullah, pembangunan merupakan kegiatan perubahan menuju ke pola-pola masyarakat yang lebih baik dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat membuat sekelompok masyarakat memiliki kendali yang lebih besar terhadap kondisi lingkungan dan juga tujuan politiknya, serta membuat warganya menjadi lebih memiliki kontrol terhadap kehidupan diri sendiri. Kemudian menurut Rogers dan Shoemaker, pembangunan adalah suatu jenis perubahan sosial, yang mana terdapat berbagai ide baru yang diperkenalkan di sebuah sistem sosial yang bertujuan agar bisa menghasilkan pendapatan per kapita dan level kehidupan yang lebih baik dengan menggunakan metode produksi yang lebih canggih dan organisasi sosial yang lebih terarah.
Dalam bukunya yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga Arief budiman (1995) menguraikan ada lima pendekatan yang digunakan untuk mengukur pembangunan. Berikut akan diuraikan ukuran keberhasilan pembangunan yang telah dihimpun oleh Arief budiman tersebut. Setalah uraian ini penulis akan menawarkan cara yang perlu dilakukan untuk mengukur keberhasilan pembangunan menurut pendapat penulis.
1.      Kekayaan rata-rata.
Menurut pendekatan ini sebuah masyarakat dikatakan berhasil membangun bila pertumbuhan ekonomi didalam masyarakat tersebut cukup tinggi. Cara mengukurnya adalah diukur dari Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product ( GDP)  yang dibagi dengan Jumlah penduduk. Dengan demikian dapat diukur produksi rata-rata setiap orang dari sebuah negara.
2.      Pemerataan
Cara yang dilakukan  dalam pendekatan ini adalah dengan melihat berapa prosen dari GNP diraih oleh 40% penduduk miskin, dan berapa persen dari 40% dinikmati penduduk menengah, serta berapa prosen dari 20% dinikmati penduduk kaya. Apabila terjadi ketimpangan yang luar biasa maka pemerataan dalam negara tersebut dianggap tidak tercapai. Cara lain adalah dengan menggunakan indeks gini. Indeks ini diukur dengan angka antara 0-1. Bila indeks gini sama dengan satu maka terjadi ketimpangan maksimal, tapi bila 0 maka ketimpangan tidak ada. Jadi semakin kecil indek gini maka semakin kecil pula ketimpangan yang terjadi dalam sebuah negara.
3.      Kualitas Hidup
Pendekatan ini tidak hanya mengukur pembangunan dari sudut pandang ekonomi, melainkan menekankan pada kesejahteraan penduduk. Salah satu tolak ukur yang digunakan adalah pendapat moris yang mengenalkan PQLI (Physical Quality Indeks), yang mengukur tiga indikator yaitu : (1) rata-rata harapan hidup (2) Rata-rata jumlah kemtian bayi (3) Rata-rata presentasi  buta huruf. Ketika indeks ini di dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi ternyata di masyarakat negara berkembang terdapat ketidaksesuaian antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk.
4.      Kerusakan Lingkungan Hidup
Pendekatan ini menekankan pada pentingnya aspek lingkungan hidup sebagai indikator dalam pembangunan. Pendekatan ini berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang didapat saat ini, bisa tidak berarti apa-apa  bila harus mengorbankan lingkungan hidup. Bagi pendekatan ini kerusakan lingkungan hidup agar berdampak buruk terhadap masyarakat tersebut dimasa depan. Sebab bila kemampuan lingkungan menurun untuk memenuhi kebutuhan manusia menurun,maka hal tersebut akan memiskinkan masyarakat tersebut di masa depan. Oleh karena itu, pendekatan ini memasukan kemampuan untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan hidup  sebagai faktor penting  yang menentukan keberhasilan pembangunan.
5.      Keadilan sosial dan kesinambungan
Pendekatan ini menggabungkan dua pendekatan yang sebelumnya sudah melakukan krtitik terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai orientasi utama, yaitu pendekatan pemerataan dan lingkungan hidup. Dalam pendekatan ini keberhasilan pembangunan dapat diukur dari sejauh mana pemerataan dapat terwujud, sekaligus lingkunagn hidup tetap lestari.

C.    Teori Ketergantungan
Muncul sebagai reaksi terhadap fenomena kegagalan penerapan Teori Modernisasi di Amerika Latin. Kedua teori ini cenderung melihat pembangunan dan keterbelakangan di Dunia Ketiga melalui pendekatanyang lebih condong kepada aspek politik (Chirot dan Hall 1982). Kemunculan perspektif ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx tentang pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalis, dan pandangan Lenin terhadap imperialisme. Para pakar di dalamnya, seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank, Samir Amin, mencoba menjelaskan bahwa keterbelakangan dan kemiskinan di Dunia Ketiga sebagai akibat dari adanya ketergantungan terhadap kekuatan ekonomi global dan konflik internasional. Kemiskinan yang dialami oleh bangsa-bangsa di negara yang sedang berkembang merupakan akibat dari sistem ekonomi dunia yang tidak seimbang, dimana sekelompok negara kuat mengeksploitasi negara-negara yang lebih lemah.
Menurut Paul Baran dan Frank Terciptanya pertumbuhan ekonomi yangtinggi dan perkembangan kapitalisme di Barat, merupakan hasil exploitasi terhadap negara-negara miskin tetapi kaya dengan sumber daya alam. Pandangan bahwa kemiskinan merupakan kondisi pada tahap pra-pembangunan tidak seluruhnya benar, karena kondisi ini terus bertahan sebagai akibat dari adanya pola hubungan ekonomi imperialisme yang tidak seimbang. Ekonomi global dikuasai dan didominasi oleh negara-negara kapitalis, sedangkan negara-negara miskin dijadikan objekeksploitasi oleh mereka. (Deddt T.Tikson, 50-51).
Konsep-konsep yang dilontarkan oleh Paul Baran seperti “ indispensable hinterland” dan oleh Frank “ the development of underdevelopment” merupakan premis-premis dasar yang kemudian membangun teori ini. Menurut Baran, ilmu sosial yang lahir di negara kapitalis memberikan dukungan ideologis atas terjadinya exploitasi negara-negara dunia ketiga yang paralel dengan merebaknya kapitalisme global. Dalam hal ini, negara-negara kapitalis memiliki kepentingan untuk tetap mempertahankan keterbelakangan dunia ketiga sebagai sumber produksi sektor primer yang bernilai tinggi agar mereka dapat mengekstraksi nilai tambah dari negara-negera ekonomi lemah.Andre Gunder Frank (1967) memperkenalkan konsep underdevelopment (keterbelakangan) dan sebuah model exploitasi metropole-satellite.
MenurutFrank, proses pembangunan dan perubahan sosial hanya akan dapat dipahamiapabila ditinjau secara historis dengan memusatkan perhatian kepada prosesinteraksi di dalam sistem politk dan perkonomian global. Seperti juga Baran, Frankberpendapat bahwa ketimpangan ekonomi dunia merupakan hasil dari dominasiekonomi oleh negara-negara kapitalis/industri. Pembangunan dan keterbelakangan bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang. Negara-negara berekonomi kuat akan tetap semakin kuat dengan melakukan pemerasan terhadap negara-negara miskin. Dengan demikian, usaha-usaha pembangunan di Dunia Ketiga tidak akan dapatmengejar ketertinggalan mereka dari dunia pertama. Ketergantungan adalah sebuah situasi dimana ekonomi sebuah atau beberapa negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi negara lain. Situasi ini akan menempatkan negara-negara yang tergantung dalam posisi yang tetap terbelakang sebagai akibatdari exploitasi oleh negara-negara berekonomi kuat, (Deddy T.Tikson, 52.2005) Selanjutnya ialah Paul Presbich, adalah seorang ekonomi liberal, yangmenjadi sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB yang didirikan pada tahun 1948 disantiago Chlie dengan lembanganya yang bernama ECLA atau Economic CommisionFor Latin Amerika, di mana ia menerbitkan karyanya yang berjudul The Economic Development of Latin America and its Principal Problem, yang intinya menurut Presbich, adanya teori pembagian kerja secara internasional yang didasarkan padateori keunggulan komparatif, membuat negara-negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya. Olehnya itu kemudian negara-negara di dunia terbagi dalam dua kelompok yakni negara-negara pusat yang menghasilkan barang industri dan negara-negara pinggiran yang memproduksi hasil pertanian, (Budiman, 45-47.1995).
Pendapat lain dari Theotonio Dos santos mengungkapkan bahwa negara pinggiran atau negara satelite bisa juga berkembang, meskipun kemudian perkembangannya sangat tergantung. Implus dan dinamika perkembangan ini kemudian tidak datang dari negara satelite melainkan dari negara induknya. Sumbangan Dos santos tentang bentuk-bentuk ketergantungan adalah:
1.      Ketergantungan kolonial di mana dijelaskan bahwa terjadi dominasi politik, dalambentuk penguasaan kolonial dari negara pusat ke negara pinggiran, yang manadigambarkan bahwa hubungan antara penjajah dengan penduduk setempat bersifateksploitatif.
2.      Ketergantungan finansial industrial, bahwa Negara pinggiran secara politis merdekatetapi dalam kenyataannya, negara pinggiran ini masih dikuasain oleh kekuatan-kekuatan finansial dan industrial dari negara pusat.
3.      Ketergantungan tekhnologi industrial, bahwa kegiatan ekonomi di negara pinggirantidak lagi berupa ekspor bahan mentah untuk keperluan industri di negara pusat.Perusahaan-perusahan multinasional mulai dari negara pusat mulai menanamkanmodalnya dalam kegiatan industri dengan tujuan negara pinggiran memberikanupah untuk penyewaan suatuh produk tekhnologi. (Budiman,69-70.1995).Selanjutnya ialah Emmanuel Wallerstein, dengan Teori Sistem Dunia (World System Theory).
Teori ini menyajikan konseptualisasi di mana, setiap negara ataubangsa memiliki potensi mobilitas vertikal untuk bergerak ke atas (karenaperbaikan ekonomi), maupun ke bawah (degradasi ekonomi) (Wallerstein 1979).Teori ini, bagaimanapun, memiliki asumsi dan pandangan yang sama dengan teoriketergantungan tentang penyebab keterbelakangan dunia ketiga, yang manakeduanya menganggap bahwa keterbelakangan sebagai akibat langsung dari adanyahubungan yang timpang antara negara-negara kapitalis dan non-kapitalis. Berdasarkan kepada latar belakang sejarah perkembangan ekonomi dan politikinternasional sejak abad ke 16, teori sistem dunia (TSD) mengajukan konsep international division of labor  dimana setiap negara memiliki fungsi masing-masingsesuai dengan posisi mereka di dalam sistem ekonomi dunia. Misalnya, sekelompoknegara memproduksi dan mengekspor produk pertanian, dan kelompok yang lainmengekspor barang-barang industri.
Menurut TSD struktur ekonomi dunia terdiri atas kelompok negara-negara pusat (core), semi-pinggiran (semi periphery) dan pinggiran (periphery). Negara-negara pusat adalah mereka yang dapat memaksakan kehendaknya untuk menciptakan pertukaran yang tidak seimbang demi keuntungan mereka, dengan mengambil nilai surplus dari pinggiran. Negara-negara pinggiran pada umumnya adalah mereka yang masih tergantung kepada produk pertanian dan ekspor komoditi pertanian dengan upah rendah.
Negara-negara ini pada hakekatnyadieksploitasi oleh negara pusat (core) yang memproduksi barang dengan upahrendah. Sedangkan semi-pinggiran berada diantara kedua kategori ekstrim ini.(Wallerstein dalam Deddy T.tikson,72-73.2005).II.3 Teori ketergantungan Teori ketergantungan (dependent development) menyatakan bahwa ketergantungan terhadap ekonomi internasional tidak selalu menghasilkan keterbelakangan di dunia ketiga. Sistem ekonomi dunia menurut pandangan ini bisa menjadi pendukung atau penghambat terhadap kemajuan ekonomi di negara-negara yang sedang membangun. Teori ini menganggap bahwa kemajuan ekonomi sebuah negara, lebih tergantung kepada faktor-faktor domestik dari pada global. Faktor-faktor tersebut antara lain kemampuan pemerintah (state capacity), pemilik modal domestik, masyarakat, dan hubungan antar kelas yang dapat menjadi faktorpendukung ke arah pertumbuhan ekonomi dan proses modernisasi.Cardoso dan Faletto (1979) menjelaskan adanya perbedaan yang cukup tajam antara situasi ketergantungan tahun 1960-an dan 1970-an di Amerika Latin. Berdasarkan pengamatan mereka di negara-negara Amerika Latin, dapat diidentifikasi bahwa situasi ketergantungan tahun 1970-an tidak lagi membawa pengaruh negatif seperti yang terjadi pada tahun 1960-an. Artinya, ketergantunganterhadap modal dan teknolnogi asing tetap ada, tetapi gejala ke arah pengaruh positif telah mulai tampak. Dalam menjelaskan hal ini, Cardoso lebih tertarik untuk menganalisis faktor-faktor sosial-politik dalam proses ketergantungan. Pengamatannya terutama diarahkan kepada perjuangan kelas, konflik antarkelompok, dan gerakan politik (Cardoso 1973, 1977; Cardoso dan Faletto 1979).
Menurut Cardoso, masalah-masalah pembangunan di negara dunia ketiga tidak semata-mata berkaitan dengan substitusi impor, perbedaan strategi pertumbuhan,atau faktor pasar internal dan eksternal, tetapi berhubungan dengan kesadaran dangerakan masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Menurut Cardoso, adalah perjuangan dan pergerakan kelas, redefinisikepentingan publik, dan aliansi politik diantara berbagai kekuatan untuk memelihara kestabilan struktur yang ada dan membuka peluang untuk terjadinyatransformasi. Berkenaan dengan hal ini, Cardoso dan Faletto (1979) telah melakukan studi tentang peranan perjuangan politik internasional dalam situasiketergantungan. Mereka menemukan bahwa hubungan antara kekuatan-kekuatan eksternal dan internal membentuk sebuah jaringan yang cukup kompleks. Jaringan ini, menurut mereka, berakar pada berbagai kepentingan yang dimiliki oleh kelas-kelas dominan di dalam negeri dan internasional, disamping tekanan-tekanan domestik oleh kelompok-kelompok yang lebih lemah (Deddy T.Tikson 75-77.2005)Selanjutnya Peter Evans (1979) mengemukakan sebuah tesis tentang adanya transformasi bentuk ketergantungan klasik (Frank) kepada bentuk baru yang diaberi label “dependent development.”
Bentuk ketergantungan yang baru ini ditandai oleh adanya aliansi antara kapitalis internasional, kapitalis domestik, danpemerintah. Evans menyebut aliansi ini sebagai “triple alliance.”Di dalam aliansiini, pemerintah memainkan peranan yang menentukan dalam mengatur aliansiantara kapitalis lokal dengan kapitalis internasioanal (fungsi regulasi). Dalam hal ini, pemerintah menggunakan kekuasaan ekonominya yang besar yang ditunjang oleh otoritas politik untuk mengatur dan mengarahkan pembangunan nasional. Pemerintah hendaknya memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya pengerukan keuntungan oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang mengorbankan kapitalis lokal. Namun demikian, proses interaksi di dalam aliansi tiga pihak ini selanjutnya menjadi kompleks, karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang dapat mengarah ke situasi konflik.

D.    PT. Freeport
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., atau Freeport  NYSE: FCX adalah salah satu produsen terbesar emas di dunia. Perusahaan Amerika ini memiliki  beberapa anak perusahaan termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals and Atlantic Copper, S.A. Perusahaan Amerika Freeport Sulphur yang bermarkas di New Orleans adalah perusahaan asing pertama yang memperoleh ijin usaha dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967, setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh Presiden Soeharto. PT Freeport Indonesia merupakan pengelolah Tambang Grasberg di Papua, Indonesia, yang merupakan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Tambang ini juga mengandung tembaga dan perak untuk pasar dunia. Bagi rezim Soeharto, Freeport adalah faktor penting baik di bidang politik dan ekonomi. Presiden Soeharto menggambarkan Freeport sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar, investor terbesar dan terlibat dalam kegiatan sosial terbesar di Indonesia. Dari segi methode pertambangan dan segi investor asing, adalah perusahaan yang  paling kontroversial.
Ini berkembang menjadi hubungan yang mendukung bersama antara Freeport dan pemerintah Indonesia, militer dan elite politik nasional. Sebagai imbalannya, Freeport secara politis dan militer dilindungi oleh pemerintah. Dukungan keuangan membuat Freeport berani mangambil resiko melanggar Undang-Undang US-Foreign Corrupt Practices Act. Karena peran ekonomi kunci di Jakarta dan Papua Barat, masalah kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia terkait erat dengan masa depan Freeport. Kekayaan perusahaan ini berasal dari persetujuan izin penambangan yang ditandatangani pada 1967. Lisensi awal dijual kepada perusahaan AS Freeport McMoRan Copper & Gold Inc., termasuk hak penambangan untuk 30 km². Perusahaan ini memiliki hak penambangan eksklusif selama 30 tahun untuk wilayah tersebut dari saat pembukaan tambang (1981). Penduduk setempat telah mencoba percobaan kekerasan, namun segera dikendalikan. Pada 1989 lisensi  pertambangan diperluas 25.000 km². Pada 2003 perusahaan tersebut dipaksa mengakui telah membayar militer Indonesia untuk mencegah pemilik tanah asal jauh dari tanah mereka. Pada 2005, New York Times melaporkan bahwa perusahaan tersebut telah membayara hampir 20 juta dolar AS selama periode 1998-2004 yang didistribusikan di antara pejabat dan satuan, dengan satu individu menerima sampai 150.000 ASD. Perusahaan menanggapi bahwa "tidak ada alternatif untuk ketergantungan kepada militer dan  polisi Indonesia mengenai hal ini". Freeport-McMoRan memegang 90,64 persen saham dari anak perusahaan PT  Freeport Indonesia. Sisanya dimiliki oleh pemerintahan di Jakarta. Pada awal 2006 sejumlah masyarakat Papua melakukan protes di Jakarta dan Timika.  Mereka menuntut PT Freeport meningkatkan pembagian hasil perusahaan tersebut dari 1% hingga 7%. Pada Juli 2013, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat mengadakan  pertemuan dengan pemerintah pusat yang pada intinya meminta pemerintah pusat mengindahkan permintaan masyarakat Papua yang menginginkan pemindahan kantor Freeport Indonesia dari Jakarta ke Papua, termasuk dalam proses  pengelolaan tambang mentah menjadi bahan siap pakai, sehingga secara langsung dapat membangun infrastruktur di Papua.









BAB III
PEMBAHASAN

A.    Ketergantungan Ekonomi Papua terhadap Sektor Pertambangan PT. Freeport

Papua merupakan provinsi yang kaya akan potensi sumbe daya alam terutama sektor pertambangan. Sektor pertambangan telah mampu menyumbang 50 persen perekonomian di Papua dengan komoditas tembaga, emas, minyak dan gas. Selain sektor pertambangan, kegiatan perekonomian masyarakat papua pada sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Kinerja perekonomian Provinsi Papua selama kurun waktu 2006-2013 berfluktuatif, dengan laju rata-rata sebesar 1,93 persen. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi di provinsi ini mengalami perlambatan sebesar 17,14 persen, kemudian mencapai laju pertumbuhan tertinggi tahun 2009 sebesar 22,22 persen (Gambar 1). Kinerja perekonomian yang fluktuatif ini dipengaruhi oleh produksi sektor pertambangan dan penggalian yang mendominasi kegiatann perekonomian di wilayah ini. Pada tahun 2013 besarnya kontribusi Provinsi Papua terhadap pembentukan PDRB Wilayah Papua sebesar 65,52 persen, dan menyumbang 1,16 persen terhadap PDB nasional.










Kinerja pertumbuhan ekonomi daerah yang diukur dari besarnya PDRB per kapita di Papua selama kurun waktu tahun 2006-2012 memang meningkat, kesejahteraan di Provinsi Papua juga meningkat dan relatif baik secara nasional sejak tahun 2009. Jika pada tahun 2006 rasio antara PDRB perkapita Papua dan PDB nasional sebesar 136,27 persen, maka pada tahun 2012 rasionya menurun menjadi 73,86 persen. Namun hal ini belum memberikan dampak positif terhadap kesenjangan antar daerah di Indonesia. Papua masih merupakan daerah yang bisa dikatakan terpencil di banding provinsi-provinsi yang lain. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi kurang memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Selama kurun waktu 2006-2013 persentase penduduk miskin di provinsi ini berkurang sebesar 8,16 persen dan masih menempati urutan tertinggi secara nasional serta lebih tinggi dari persentase penduduk miskin nasional (Gambar 4). Kemiskinan di Papua disebabkan karena kemiskinan struktural, yaitu akibat struktur sosial dalam masyarakat. Masyarakat Papua kurang mampu memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki















Penyebab permaslaahan Pembangunan dipapua yaitu tingginya ketergantungan pada sektor primer (Pertambangan). Penambangan PT Freeport Indonesia di Provinsi Papua menarik banyak pekerja pada kegiatan operasional penambangan ataupun usaha-usaha lain yang berkaitan dengan pertambangan. Sebagai perusahaan tambang terbesar di Papua, perusahaan ini mempekerjakan sekitar 7.600 karyawan. Dari jumlah tersebut, 26 persen merupakan penduduk lokal Papua. Kondisi sumber daya manusia Papua yang kurang memiliki keterampilan dan pendidikan untuk bekerja menggunakan teknologi modern menjadi kendalanya. Kinerja sektor pertambangan dan penggalian merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua. Naik turunnya produksi PT. Freeport Indonesia sangat menentukan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Strukur perekonomian Provinsi Papua tahun 2013 didominasi oleh kontribusi sektor pertambangan dan penggalian sebesar 48,80, sektor pertanian sebesar 11,99 persen, dan sektor konstruksi sebesar 11,90. Persen. Peranan sektor industri pengolahan hanya memberikan kontribusi sebesar 1,69 persen, dan merupakan kontributor kedua terendah setelah sektor listrik Gas dan air minum sebesar 0,17
Dari sisi pengeluaran (penggunaan) pendorong utama pertumbuhan ekonomi selama 2006-2013 adalah pada ekspor impor. Peningkatan penjualan komoditas pertambangan dari PT Freeport Indonesia menjadi pendorong utama peningkatan ekspor di Provinsi Papua. Jika terjadi penurunan produksi, hal ini tentunya akan berdampak langsung terhadap kinerja ekspor impor dan mempengaruhi perekonomian daerah. Perekonomian daerah memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor impor produk pertambangan. Besarnya kontribusi nilai impor, ekspor, dan konsumsi rumah tangga mendominasi struktur perekonomian Papua, sedangkan investasi (PMTB) yang sangat penting bagi pertumbuhan daerah kontribusinya berada di bawah ketiga sektor tersebut. Investasi berperan meningkatkan stok kapital di daerah yang digunakan untuk berproduksi. Tingkat investasi yang rendah akan diikuti oleh terbatasnya kemampuan daerah untuk memacu peningkatan produksi

B.     Analisis Penyebab Keterbelakangan Pembangunan Ekonomi di Papua Sebagai Akibat terhadap Ketergantungan Pertambangan Freeport

Tori Ketergantungan (struktur) mengungkapkan bahwa kemiskinan yang terdapat di negara-negara Dunia Ketiga adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, dimana yang kuat melakukan eksploitasi terhadap yang lemah. Negara yang memiliki sumber produksi dengan kemampuan rendah untuk melakukan pengolahan sumber-sumber tersebut berpotensi menjadi negara kelas bawah. Negara maju yang mempunyai sumber-sumber produksi dan teknologi serta modal akan tetapi memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan pengolahan yang berlebihan atas sumber yang dimilikinya lebih memilih untuk bekerja sama dengan negara kelas di bawahnya.  Menurut Paul Prebisch keterbelakangan dalam pembangunan negara karena  hubungan yang tidak sehat antara negara-negara pusat dan pinggiran. Sebagai akibat adanya kerjasama antara modal asing dan pemerintah setempat, muncullah kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dan borjuasi lokal, dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut. Kegiatan ekonomi praktis merupakan kegiatan ekonomi modal asing yang berlokasi di negara satelit. Fungsi kaum borjuasi lokal adalah sebagai mitra junior yang dipakai sebagai payung politik, serta pemberi kemudahan bagi beroperasinya kepentingan modal asing tersebut, melalui kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Kebijakan pemerintah yang didukung oleh kaum borjuasi ini adalah kebijakan yang menghasilkan keterbelakangan karena kemakmuran bagi rakyat jelata dinomor-duakan. Tiga komponen utama pada teori Frank, yaitu: modal asing, pemerintah lokal di negara satelit dan kaum borjuasi.
Masuknya PT. Freeport Indonesia di Provinsi Papua sebagai konsesi globalisasi ekonomi yang diusung oleh kebijakan nasional dengan dalih percepatan pembangunan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. PT Freeport merupakan perusahaan modal asing asal Amerika Serikat yang mengoperasikan tambang tembaga, emas, dan perak dan berlokasi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Pertambangan  PT. Freeprot adalah salah satu kasus yang paling parah dihadapi Indonesia yang diakibatkan oleh politik yang salah selama puluhan tahun dari rezim militer orde baru. Aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. Freeprot belum memberikan pengaruh positif bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Papua dan Mimika. Padahal PT. Freeport melalui keberadaan mereka telah mengambil hak tanah ulayat masyarakat Mimika yang telah lama menjadi sumber mata pencaharian dan apresiasi kultural masyarakat setempat. Kehadiran PT. Freeport bahkan menimbulkan dampak-dampak negatif seperti marjinalitas masyarakat lokal Mimika, terjadinya konflik pertentangan kepemilikan atas tanah adat, dan dampak kerusakan lingkungan yang parah.
Dependensi memperlihatkan ketidaksetaraan antara negara maju dan berkembang terutama di bidang ekonomi. Freeport telah memberikan banyak keuntungan bagi Amerika yang merupakan eksportir emas utama dengan produksi 230.000 metrik per ton/hari. Sejak awal pembuatannya angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meskipun nilainya masih disaingi oleh beberapa komoditas lainnya di Amerika, namun nilai emas ini merupakan penopang perekonomian Amerika yang karena harganya stabil di pasar global.
Berdasarkan kenyataan, Indonesia cenderung dirugikan dalam kerjasama negara ini, apa lagi dengan terlihatnya kondisi di wilayah timur Indonesia.   Fasilitas infrastruktur dan pendukung lainnya, tentu sangat timpang dengan negara maju dan negara kita kelas ketiga. Freeport telah mempekerjakan sekitar 8.000 pekerja dimana 60% adalah asli Papua, dan memberikan pendapatan kepada daerah Papua sekitar 5 milyar dolar Amerika pertahunnya. Pajak yang seharusnya dibayarkan adalah 6% tetapi pemerintah hanya menerima 1%  dari setiap hasil produksi tambang dari total milyaran dollar Amerika dari produksinya pertahun. Perbandingan kesejahteraan antara karyawan Freeport di Indonesia dengan di negara lain pun jauh. Di luar Indonesia karyawan dibayar 10 sampai dengan 70 dollar perjamnya sedangkan Indonesia hanya 0,98 sampai dengan 2 dollar Amerika perjam-nya. Menunjukkan karyawan di Indonesia sangat murah dibanding negara lain jika kita sedikit berangan adanya investor yang masuk di Indonesia mendapatkan semacam keistimewaan dari kontrak kerja. Dengan begitu PT. Freeport dapat menentukan upah yang murah bagi karyawan yang akan direkrut menjadi pekerja PT. Freeport.
Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Dari tahun ke tahun angka kemiskinan di Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua memang mengalami penurunan, namun hal tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dari sektor pertambangan yang meningkat drastis. Berdasarkan berita resmi Statistik Provinsi Papua yang dirilis pada 3 Maret 2008, perekonomian Papua pada triwulan IV 2007 mengalami peningkatan PDRB yaitu sebesar 11,30 trilyun rupiah. Namun jumlah kemiskinan di Provinsi Papua dari tahun 2007 hingga 2008 hanya mengalami penurunan sekitar 5.25%. Sehingga jika dikaitkan dengan nilai-nilai inti pembangunan, maka jelas terlihat bahwasanya pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan investor asing di Papua tidaklah memberi dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat disekitarnya, malah justru mengakibatkan keterbelakangan.
Kesenjangan dan keterbelakangan masyarakat papua dapat dilihat melalui adanya faktor “triple alliance yaitu pemerintah, perusahaan asing dan pemangku kepentingan masyarakat lokal dapat dilihat dari sejarah masuknya perusahaan asing dan politik ekonomi yang terjadi hingga saat ini. kesenjangan trsebut tidak terlepas dari kontrak Kerja PT. Freeport Indonesia dengan Indonesia sejak zaman orde baru. Dilihat pada pemerintah rezim orde baru yakni pada awal periode pemerintahan Soeharto, mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi di Indonesia dengan memfasilitasi keberadaan PT. Freeport tanpa mempertimbangkan dampak yang lebih lanjut terhadap kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Mimika. Rezim orde baru mendukung upaya investasi PT. Freeport  di Papua dengan cara melahirkan dua undang-undang yaitu, Undang Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Berdasarkan kedua undang undang tersebut, lahirlah Kontrak Karya (KK) I dengan rezim militer orde baru yang dilaksanakan pada 5 April 1967 dan berlaku selama 30 tahun, terhitung sejak dimulainya aktifitas eksplorasi pada bulan Desember 1967. KK I tersebut terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontraknya merupakan usulan yang diajukan oleh PT. Freeport Indonesia selama proses negosiasi antara Indonesia dan perusahaan asing tersebut, artinya kebijakan lebih banyak disusun untuk kepentingan PT. Freeport Indonesia. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport.
Pertama, Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia. Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Limbah tersebut yang memiliki kandungan zat berbahaya merusak tanaman dari masyarakat Papua.
Kedua, Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN. Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. PT. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah. Tidak ada kewajiban bagi PT. Freeport Indonesia untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. PT. Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. PT. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih PT. Freeport, hingga KK I diperpanjang menjadi KK II yang tidak direnegosiasi secara optimal, sehingga Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang sebanding dengan keuntungan besar yang diraih PT. Freeport. Saat itu aktivitas eksploitasi PT. Freeport dijalankan sesuai KK II yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 yang memberikan hak kepada PT Freeport untuk beroperasi selama 30 tahun dengan kemungkinan perpanjangan selama 2×10 tahun.
Berdasarkan data yang dirilis dalam website PT Freeport Indonesia dinyatakan bahwa pada tahun 1991 PT Freeport telah memiliki kontrak karya II seluas 2,6 Juta Ha. Dalam hal ini, 2,6 Juta Ha terbagi dalam wilayah eksplorasi dan ekploitasi PT Freeport di wilayah Papua. PT Freeport pada tahun 2012 telah menyisakan 212.950 Ha dengan rincian 10.000 wilayah eksploitasi dan 202.950 wilayah eksplorasi. Artinya dalam rentang 1991-2012 PT Freeport telah melakukan eksploitasi dan eksplorasi sebesar 92,2% dari total keseluruhan kontrak karya yang dilakukan. Sementara itu, PT Freeport pertahun dapat memproduksi tembaga: 670 juta pound, emas: 750 ribu ounces dan perak: 1,3 juta ounces. Dan PT Freeport Indonesia mendapatkan keuntungan sebesar 100 Triliun. Sedangkan yang didapat Indonesia dari pajak dan royalty per tahun ke Indonesia hanya sebesar Rp. 5,6 Triliun.
Kondisi tersebut menjadi cerminan bahwa sebagai korporasi internasional milik imperialism AS, PT Freeport telah menngeruk kekayaan alam khususnya di Kabupaten Mimika, Papua. Dari eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan, PT Freeport telah menduduki posisi tertinggi dalam investasi sektor tambang dengan presentase 94% lebih besar dibanding perusahan tambang lain atau setara 5% dari total keseluruhan investasi di Indonesia dengan jumlah Investasi 86 triliun (tahun 2012). Tentunya Investasi yang besar ini menjadi sebuah wujud nyata dominasi imperialisme AS dalam mengeruk sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam hal ini termanifestasikan dengan royalti yang diberikan dalam bentuk royalti Tembaga menjadi empat persen, emas menjadi 3,75 persen dan perak menjadi 3,25 persen (MoU Juli 2014). Artinya dengan royalti yang sangat kecil ini menjadi sebuah gambaran bagaimana pemerintahan Indonesia yang senantiasa sepenuhnya melayani kepentingan imperialisme untuk memberikan keuntungan yang besar dibanding mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan rakyat papua hanya menjadi buruh murah. Sementara masyarakat Papua yang melawan keberadaan PTFI yang menghisap dan menindas, malah disebut sebagai manusia barbar/liar yang anti pembangunan oleh imperialism AS dan pemerintahan berkuasa di Indonesia. Sehingga selama adanya PTFI, pelanggaran-pelanggaran HAM berat di Papua hingga saat ini masih terus berlangsung, mulai dari status DOM, intimidasi, pengusiran, penembakan dan pembunuhan.
Keberadaan PT Freeport Indonesia sendiri telah menghadirkan berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat Papua, Khususnya hilangnya tanah-tanah ulayat dari suku-suku yang ada sebagaimana konsesi hak tanah seluas  2,6 juta Ha. Sementara tercatat Suku Amungme yang harus kehilangan wilayahnya karena keberadaan PT Freeport Indonesia. Kondisi ini juga diperparah dengan intimidasi hingga pembunuhan secara barbar yang dilakukan oleh pihak militer untuk melindungi kepentingan PT Freeport. Dengan kata lain, PT Freeport tidak akan segan-segan melakukan aksi-aksi sapu bersih dengan menggunakan Militer untuk mengamankan ataupun menjaga wilayah eksplorasi dan eksploitasi tambangnya.
Disini, Indonesia terkesan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat Adat Suku Amungme dan 6 suku lain yang disebut sebagai pemilik tanah, emas, tembaga, hutan yang kemudian dikuasai oleh pihak perusahaan. Dalam aksi protes, masyarakat selalu berhadapan dengan pihak aparat keamanan (TNI/POLRI), yang bertugas mengamankan Perusahaan, maka terjadilah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jika dilihat dari kasus tersebut sangat besar kemungkinkan adanya politik uang di tubuh TNI/ POLRI yang dilakukan oleh PT. Freeport terhadap pengamanan daerah pertambangan. Selain itu, kehidupan masyarakat juga terancam dengan keberadaan PT. Freeport asal Amerika tersebut, karena masyarakat yang bukan pekerja PT Freeport bisa diusir, bahkan di tembak jika mendekati area pertambangan tanpa izin. walaupun masyarakat Papua hanya mencari hasil hutan di Sekitar PT Freeport. Disitu terlihat tanah yang di eksplorasi oleh PT. Freeport merupakan sumber penghasilan, sumber kehidupan bagi masyarakat papua. Padahal apabila masyarakat papua dapat hidup dari tanah tersebut atas bantuan pemerintah dapat memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat Papua.
Jumlah buruh PT Freeport berjumlah kurang lebih 24.000 anggota. Sementara upah buruh di Freeport Indonesia disebut-sebut paling murah dibandingkan anak usaha Freeport yang ada di negara lain seperti di Amerika selatan dan eropa. Saat ini upah buruh di PT Freeport hanya US$5-6 per jam, sementara buruh PT Freeport di Negara lain rata-rata mendapatkan upah sekitar 40 juta/bulan. Padahal Freeport Indonesia mengungguli perusahaan dalam kelompok Freeport yang beroperasi di Amerika Selatan dan Eropa untuk memberikan pemasukan bagi perusahan induknya, Freeport-McMoran. Pemerintah justru memperparah nasib buruh tambang, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 15 Tahun 2005 tentang jam kerja pekerja tambang. Dalam regulasi itu disebutkan, pekerja tambang bisa bekerja selama 12 jam per hari selama 10 minggu berturut-turut. Sementara upah buruh yang diperoleh karyawan Freeport masih sama.
Pada dampak lingkungan, PT Freeport Indonesia tidak hanya memiliki dampak pada hilangnya tanah-tanah suku-suku di Papua namun uga berdampak pada lingkungan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), persoalan yang timbul setelah PT.Freeport Indonesia beroperasi adalah pencemaran lingkungan hidup baik mulai dari gunung biji yang  dikenal oleh masyarakat adat Amungme sebagai “Nemang Kawi” (Anak Panah Putih), Sungai Wanagong sampai ke dataran rendah milik masyarakat suku Kamoro yaitu sungai Aikwa. Kini ribuan hektar hutan kayu, sagu rusak dan sejumlah habitat sungai menjadi punah, bahkan manusia pun ikut kena dampak, akibat limbah tambang yang di buang ke sungai Aikwa. Sedangkan dampak sosial-ekonomi dari pembuangan limbah tambang ke sungai Aikwa terhadap kedua suku tersebut maupun suku-suku lain dari Papua, dan Indonesia dapat terlihat dekat dengan mata dimana kota Timika yang dulunya banyak dusun sagu yang memberi makan bagi masyarakat adat Kamoro, dan suku-suku lain dari Papua maupun Indonesia yang tinggal di kota Timika telah rusak. Akibatnya masyarakat tidak bisa mendapatkan sagu sebagai sumber makanan pokok mereka.
Dalam pelaksanaannya, KK II ini pun mengandung unsur Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), sebab kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997 yang dilakukan dengan sangat tertutup dan tidak melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat Mimika dan pemilik hak ulayat. KK II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia.  Kemudian kita bisa lihat pada saat ini kasus yang baru-baru terjadi saat ini mengenai pencatutan presiden Jokowi oleh Setya Novanto tentang  perpanjangan Freeport. Kita bisa melihat bagaimana politik ekonomi yang tidak sehat  antara pemerintah, asing dan pemangku kepentingan tentang perpanjangan PT. Freeport sebagai indikasi bahwa keterbelakangan terjadi bisa terjadi karena  faktor tersebut.
Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan yang berarti bagi masyarakat Papua, walaupun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Ketimpangan lainnya adalah, di dalam Kontrak PT. Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak PT Freeport Indonesia jika PT Freeport Indonesia tersebut dinilai melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak PT. Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.








BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Papua merupakan provinsi yang kaya akan potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangan telah mampu menyumbangkan 50 % perekonomian di Papua dengan komuditas tembaga, emas, minyak dan gas. Masuknya investor (PT. Feeport) memang telah memberikan pengaruh terhadap pendapatan perkapita Papua. Namun, hal tersebut belum dapat mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan antara provinsi di Indonesia. Tingginya ketergantungan pada sektor pertambangan membuat Papua mengandalkan pertambangan sebagai pendapatan utama Papua
Berdasarkan kasus Freeport di Papua pada dasarnya menggunakan konsep pembangunan modernisasi, eksploitasi sumber daya alam oleh  perusahaan asing (Amerika) yang terjadi di Papua. Pembangunan yang dilakukan di atas tanah masyarakat Papua tidak membawa kemajuan bagi masyarakatnya. Kerjasama Indonesia dengan Perusahaan Asing telah menjadi penghambat bagi kemajuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport selalu memberikan keuntungan bagi PT. Freeport. Freeport telah memberikan banyak keuntungan bagi Amerika yang merupakan eksportir emas utama dengan produksi 230.000 metrik per ton/hari. Sementara tahun 2002, sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Kesenjangan dan keterbelakangan masyarakat papua disebabkan adanya faktor “triple alliance yaitu pemerintah, perusahaan asing dan pemangku kepentingan masyarakat lokal dapat dilihat sejak sejarah masuknya perusahaan asing dan politik ekonomi yang terjadi hingga saat ini. Adanya hubungan yang tidak sehat antara ketiga pihak yang saling ingin memperoleh  menimbulkan kesenjangan ekonomi di Papua. Adanya pembuatan kebijakan, fasilitas dan hak-hak yang istimewa dari PT. Freeport telah menyebabkan ketergantungan dan keterbelakangan pembangunan Indonesia khususnya pada provinsi Papua.
Dengan begitu benar adanya bahwa teori ketergantungan tentang pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan investor asing seperti PT. Freeport dengan perusahan pengekploitasi SDA terbesar dunia tidaklah memberi dampak terhadap kesejahtraan masyarkatnya, melaikan memiskin dan menelantarkan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya politik ekonomi yang dilakukan oleh pemeritah Indonesia, PT Freeport sebagai investor asing dan pemangku kepentingann pada masyarakat lokal Papua. pembangunnan yang dilakukan indonesia dengan kerjasam PT. Freeport hanya menciptakan ketergantungan dan menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi provinsi Papua.

B.     Saran
1.      Perlunya kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong sistem perekonomian berbasis kemasyarakatan dengan memberikan partisipasi yang sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk ikut dalam proses pembangunan.
2.      Reformasi dan revitalisasi BUMN untuk menuju konsep industrialisasi produk
3.      Minimalisir produk impor yang dianggap kurang bermanfaat untuk masyarakat Indonesia dan manfaatkan produk lokal yang ada.
4.      Kebijakan pembatasan ekspor bahan-bahan atau kekayaan alam yang dapat diproduksi di Indonesia.
5.      Perlunya kebijakan pemerintah untuk merevisi kontrak kerja dengan perusahaan-perusahaan asing yang lebih menguntungkan pihak swasta.
6.      Perlunya keberanian khususnya para pemimpin Negara untuk berinisiatif dan mengaktualisasi kebijakan nasionalisasi di sektor migas dan pertambangan.


















DAFTAR PUSTAKA

Moleong, J.Lexy. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Budiman, arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

WALHI. 2006. Dampak LingkunganHIsup Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport di Papua. Jakarta
Solihin, 2014. Jurnal Pengaruh Perusahaan Asing Terhadap Pembanguanan Indonesia, Universitas Riau, halaman 7-12
Hadipranata. 2014. Jurnal Budaya Organisasi : Studi Kasus World System Freeport Indonesia. pogram Pasca Sarjana Magister Management Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, halaman 4-7
https://www.academia.edu/6951129/pengaruh_perusahaan_asing_terhadap_pembanguanan_indonesia di akses melalui internet pada tanggal 30 Desember 205, pukul 20:02 WIB
https://www.academia.edu/8756509/Teori_Dependensi di akses melalui internet pada tanggal 30 Desember 205, pukul 20:20 WIB
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/10/185512226/Terbanyak.di.Indonesia.4.000-an.Desa.di.Papua.Berstatus.Sangat.Tertinggal

Comments

Popular Posts