SEJARAH INDONESIA



SEJARAH INDONESIA

 


Sejarah Proklamasi

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agus- tus 2605 menurut  tahun  Jepang  dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi  oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara  Jepang  di selu- ruh dunia. Sehari kemudian  Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau “Dokuritsu Junbi Cosakai”, berganti  nama menjadi  PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut  juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa  Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai  kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga  menye- babkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun diman- faatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan  PPKI dan  Radjiman Wedyodiningrat  sebagai  mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa  pasukan  Jepang  sedang  di am- bang  kekalahan dan akan memberikan  kemerdekaan kepada  Indonesia. Sementara  itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang  bawah tanah bersiap- siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak  bentuk  kemerdekaan yang di- berikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang  melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, me- ngatakan  kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan  kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat  dilak- sanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah  air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak  agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang  se- tiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara  yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada  Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang  memang telah menyerah,  dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat  menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat  berakibat  sangat  fatal jika para pejuang  Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan ke- merdekaan karena itu adalah  hak Panitia Persiapan Kemerdekaan  Indonesia (PPKI). Se- mentara  itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan  buatan Jepang  dan proklamasi ke- merdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang.
Pada tanggal  14 Agustus 1945 Jepang  menyerah  kepada  Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengemba- likan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan  muda mendesak golongan  tua untuk segera memprokla- masikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan  tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk  rapat PPKI. Golongan muda  tidak menyetujui  rapat itu, meng- ingat PPKI adalah sebuah  badan  yang dibentuk  oleh Jepang. Mereka menginginkan ke- merdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang  (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda me- nyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari To- kyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harin- ya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan

Proklamasi Kemerdekaan
Sehari kemudian, gejolak tekanan  yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak  dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan.  Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok
Para  pemuda pejuang,  termasuk  Chaerul  Saleh, Sukarni, dan  Wikana --yang  konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah  kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal  16 Agustus 1945. Bersama Shodanco  Singgih, salah seorang  anggota PETA, dan pemuda lain, mereka  membawa Soekarno (bersama  Fatmawati  dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal seb- agai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Je- pang telah menyerah  dan para pejuang  telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risi- konya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan  perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo  menyetujui  untuk  memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah  Yusuf Kunto untuk  mengantar Ah- mad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu  - buru memproklamasikan kemerdekaan.  Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks perto- koan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung mu- seum perumusan teks proklamasi) sebagai  tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Pertemuan  Soekarno/Hatta  dengan  Jenderal  Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yama- moto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi  Kepala pemerintahan militer Jepang  (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima  Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk  menerima  ke- datangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tang- gal 16 Agustus 1945 telah  diterima  perintah  dari Tokio bahwa  Jepang  harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan In- donesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah  itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Su- karno-Hatta meminta  agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura  tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan  karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi pe- rintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah  dari rumah  Nishimura, Sukarno-Hatta  menuju  rumah  Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah  menyapa  Sukarno-Hatta  yang ditinggalkan  berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan  teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo  dan disaksikan oleh Soek- arni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang  mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi  kemudian  ada kalimat dari Shigetada  Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti “trans- fer of power”. Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi  di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik  naskah tersebut meng- gunakan  mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun  berhubung alasan keamanan  dipindahkan  ke kediaman  Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi
Perundingan antara  golongan  muda dan golongan  tua dalam penyusunan teks Prokla- masi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Kon- sep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan,  hadir B.M Diah Sa- yuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kedia- man Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta  untuk  menaikkan  bendera namun  ia menolak  dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang  prajurit. Oleh sebab  itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu  oleh Soehoed untuk tu- gas tersebut. Seorang pemudi  muncul dari belakang membawa nampan  berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebe- lumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara  selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang  anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun  ditolak. Akhirnya Hatta memberikan  amanat  singkat ke- pada mereka.
Pada tanggal  18 Agustus 1945, Panitia Persiapan  Kemerdekaan  Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) seba- gai dasar negara  Republik  Indonesia,  yang selanjutnya  dikenal sebagai  UUD 45. Den- gan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan  rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian. Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetu- juan dari PPKI sebagai  presiden  dan wakil presiden  Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Isi Teks Proklamasi
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen  05
Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta


Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun
2605. Teks di atas merupakan  hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Sejarah Indonesia (1945-1949)
Indonesia: Era 1945-1949 dimulai dengan masuknya  Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan pe- nyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai  posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

(1945 ) Kembalinya Belanda bersama Sekutu

Latar belakang terjadinya kemerdekaan
Sesuai dengan perjanjian  Wina pada  tahun  1942, bahwa  negara-negara sekutu  ber- sepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Menjelang  akhir perang, tahun  1945, sebagian  wilayah Indonesia telah  dikuasai oleh tentara  sekutu. Satuan tentara  Australia telah mendaratkan pasukannya  di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum  Jepang  me- nyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikua- sai oleh satuan tentara  Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Doug- las MacArthur, Panglima  Komando  Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang  usai, tentara  Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan In- donesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam ben- tuk komando  SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima  Lord Mountbat- ten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang  dan mengurus pengembalian tawanan  perang  dan tawanan  warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).

Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama  tentara  Be- landa mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi  Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara  Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus  J van Mook, ia di- persiapkan untuk membuka  perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun  1942 (statkundige  concepti  atau konsepsi kenegaraan),  tetapi  ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara  dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang.
Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa  di kemudian  hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai  pertempuran yang terjadi pada  saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
      Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
      Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
      Perjuangan  Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
      Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.

Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena situasi keamanan  ibukota Jakarta (Batavia saat itu) yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pin- dah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan  Sutan Syahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta. Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta  api, yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan  adalah  rangkaian  yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan  luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istime- wa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.

(1946 ) Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan  van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang  memicu  perubahan sistem  pemerintahan dari presidensiil  menjadi  parlementer. Gelagat ini sudah terbaca  oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum  ke- datangan Sekutu, tanggal  14 November  1945, Soekarno sebagai  kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang te- pat untuk dijadikan ujung tombak  diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya  partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi  sistem Parlementer)  memungkinkan perundingan antara  pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang  intelek, dan seorang  yang telah berperang selama pemerintahan Je- pang.


Diplomasi Syahrir
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada  Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese  Gebiedsdelen),  J.H.A.  Logemann, yang  berkantor  di Den Haag: “Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan”. Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 No- vember 1945, “Mereka bukan kolaborator  seperti Soekarno, presiden  mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir”. Tanggal 6 Maret 1946 kepada  van Mook, Logemann bahkan  menulis bahwa  Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi  Parlementer, karena seminggu  sebelum  perubahan pemerin- tahan  itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya.  Ir Soekarno menolak hal ini, se- baliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal  4 Desember  1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci  ten- tang  politiknya dan menawarkan  mendiskusikannya  dengan wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk men- ciptakan  warga  negara  Indonesia bagi semua  orang  yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen  yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan  mayoritas. Kementerian akan disesuaikan den- gan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam- macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan men- dukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi  kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa  pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah  Belanda menawarkan  suatu kompromi yaitu: “mau mengakui  Republik sebagai  salah satu unit negara  federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari”.
Sebagai  tambahan ditawarkan  untuk  mengakui  pemerintahan de facto Republik atas bagian  Jawa dan Madura yang belum berada  di bawah  perlindungan pasukan  Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam su- rat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada  yang lebih samar-samar  lagi tentang kemungkinan  Indonenesia menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka den- gan kemungkinan  hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah  Sjahrir mengirimkan  surat rahasianya kepada  van Mook, surat itu dibocorkan  kepada  pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal  24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag: “menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu”. Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia  menerima  pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada  Jawa dan Sumatra.

Penculikan terhadap PM Sjahrir
Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan  Isra Mi’raj Nabi Muhammad  SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian  besar pucuk pimpinan  politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir, akan tetapi menurut  sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang su- dah terlanjur dicap sebagai “pengkhianat yang menjual tanah  airnya”. Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia diba- wa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengu- mumkan, “Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara  dan  perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden  Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya  pada  tanggal  28 Juni 1946, untuk sementara men- gambil alih semua kekuasaan pemerintah”. Selama sebulan lebih, Soekarno mempertah- ankan kekuasaan  yang luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun  baru  tanggal  14 Agustus 1946, Sjahrir diminta  kembali untuk membentuk kabinet.

Kembali menjadi PM
Tanggal 2 Oktober  1946, Sjahrir kembali  menjadi  Perdana  Menteri, Sjahrir kemudian berkomentar, “Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabi- net kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Na- sional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan  pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet.”
Konferensi Malino - Terbentuknya “negara” baru

Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan  oleh pihak Belanda yang telah mengusai  sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 ba- gian; Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
(1946-1947) Peristiwa Westerling
Pembantaian Westerling  adalah  sebutan untuk  peristiwa  pembunuhan ribuan  rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan  Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan  Westerling. Peristiwa ini terjadi  pada  Desember  1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus  pemerintah Belanda melakukan  usaha  lain untuk  memecah halangan dengan menunjuk  tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara  dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami  tekanan  berat  -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetu- juan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
·         Belanda mengakui  secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
·         Republik  Indonesia  dan  Belanda  akan  bekerja  sama  dalam  membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
·         Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Kon- stituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis  dan ba- gian-bagian  komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indo- nesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi  serta  kebudayaan.  Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai  anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari ke- mudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pema- rafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya  Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifi- kasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan  Linggarjati
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah  Republik dan Belanda pada  bulan November  1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kar- tosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang  Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan  ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni an- tara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (di- wakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui  naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam  gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland  Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang ting- gal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946

Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia

Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan  kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya per- janjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil mem- bujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pa- sundan  pada tanggal  4 Mei 1947. Secara militer negara  baru ini sangat  lemah, ia benar benar sangat  tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai  berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara lang- sung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa  kota-kota  yang dikuasai pihak Re- publik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuan- gan  yang serius yang tidak mungkin  dipikul oleh perekonomian negeri  Belanda yang hancur  diakibatkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan  ini maka pihak Belanda memerlukan  komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khusus- nya minyak dan karet).

Agresi Militer I
Pada tanggal  27 Mei 1947, Belanda mengirimkan  Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
·         Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
·         Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
·         Republik Indonesia harus mengirimkan  beras  untuk  rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
·         Menyelenggarakan keamanan  dan  ketertiban  bersama,  termasuk  daerah  daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
·         Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor

Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda se- lama masa peralihan, tetapi  menolak gendarmerie bersama.  Jawaban  ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus “mengembalikan ket- ertiban” dengan “tindakan kepolisian”. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisionil’ mereka yang pertama. Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak  dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki  Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki  Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan  pasukan  yang lebih kecil mengamankan  wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai  semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Me- lihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus  asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa  mengundurkan diri dari ja- batannya  sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat  menyetujui  tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat  mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah  melihat  keberhasilan  dalam  aksi ini menimbulkan keinginan  untuk melanjutkan  aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeingin- an merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.

Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan.  Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabi- netnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya  menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam se- pucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena “ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi”. S.M. Kartosoewirjo menolak  tawaran  itu bukan  semata-mata karena loyalitasnya kepa- da Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya  untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntung- kan bagi Indonesia disebabkan  berbagai  perjanjian yang diadakan  pemerintah RI den- gan Belanda. Di samping  itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Perta- hanan  sangat  jelas terlihat bahwa  Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.


(1948 ) Perjanjian Renville
Sementara  peperangan sedang  berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan  Aus- tralia dan India, mengeluarkan perintah  peletakan  senjata tanggal  1 Agustus 1947, dan segera  setelah  itu mendirikan  suatu  Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu . Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang  Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua be- lah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi  atas garis yang berbeda dari per- setujuan  Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau  besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan  Kedaulatan Belanda akan tetap  atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal  19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian  kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat  pulau Jawa -Banten tetap  daerah  Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan  wilayah yang baru diperoleh  Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditan- datangani agar Belanda tidak “menimbulkan rasa benci Amerika”.
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perund- ingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang  kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogya- karta hidup  lebih lama, jantung  Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan  inti keuntungan Seperti sesudah  persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana  Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung  bertanggung jawab jika sesuatu  salah atau di- anggap salah.

Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai Perdana Menteri
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya  Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya  yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatan- gani, disusul kemudian  Amir sendiri meletakkan  jabatannya  sebagai  Perdana  Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharap- kan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan  itu menjadi  buyar ketika Soekarno  berpaling  ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin  suatu ‘kabinet presidentil’ darurat  (1948-1949), dimana  seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan  terpilihnya  Hatta, dia menunjuk  para anggota yang duduk  dalam  kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai.  Amir dan kelompoknya  dari sayap kiri kini menjadi  pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mem- pertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk par- tai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang  runtuhnya Amir datang bahkan  lebih cepat  ketimbang  Sjahrir, enam  bulan lebih dulu Amir segera dituduh  -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat  hari sesudah  Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifu- din dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal  29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap  memangku ja- batan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding  dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir ber- henti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat  Republik lain- nya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan  menjelaskan  Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti  terpenting selama perjalanan-  Hatta berbicara  tentang kegigihan  Re- publik, dan pidatonya disambut  dengan hangat  sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: “Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan”
Menurut peserta  lain: “Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti”. Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- “Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang terse- nyum”. Menurut kata-kata saksi lain, “Seolah-olah ada yang membeku  dalam wajah Sjah- rir” dan ketika gilirannya berbicara “Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur”. Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pida- to Sjahrir: “Pidatonya pendek”. Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pi- hak menuduh masing-masing melanggar  perdamaian,  dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Ja- sa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melapor- kan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.



(1948-1949) Agresi Militer II
Agresi Militer  II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan  terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya  ibu kota negara  ini menyebabkan diben- tuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belan- da, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuan- nya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berund- ing dengan RI. Pada tanggal  7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi  III/GM III -dengan  mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan  pemerin- tah sipil setempat- berdasarkan  instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuk- tikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga  dengan demikian dapat  memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang  berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai  kekuatan untuk mengadakan perlawanan.  Soeharto  pada  waktu itu sebagai  komandan  brigade  X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan  di wilayah Yogyakarta.

Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal  7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang  terse- but kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki  markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan  itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan  kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan  lebih tertinggal  tetapi  didukung  oleh rakyat dan dipimpin  oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.

Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November
1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
·         Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
·         Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan. Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Belanda mengakui  kemerdekaan Indonesia pada  27 Desember  1949, selang empat  ta- hun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan  ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran  bahwa  mengakui  Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.

Sejarah Indonesia (1950-1959)
Era 1950-1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.
Latar Belakang
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar- besaran  menuntut pembuatan suatu  Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga  negara  bagian,  Negara  Republik Indonesia, Negara  Indonesia Timur, dan  Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada  tanggal  17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah  dengan menggunakan Undang-Un- dang  Dasar Sementara  Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet  parlementer.
Konstituante
Konstituante  diserahi tugas  membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun  1959 badan  ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante.
Kabinet-kabinet
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak sta- bil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
      1950-1951 - Kabinet Natsir
      1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
      1952-1953 - Kabinet Wilopo
      1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
      1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
      1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
      1957-1959 - Kabinet Djuanda


Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin  Isinya ialah:
      Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
      Pembubaran Konstituante
      Pembentukan MPRS dan DPAS

Sejarah Indonesia (1966-1998)
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir  dengan semangat “koreksi total” atas  penyimpangan yang  dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, eko- nomi Indonesia berkembang pesat  meskipun  hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Masa Jabatan Presiden Suharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai pres- iden, dan dia kemudian  dilantik kembali secara berturut-turut pada  tahun  1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis  mengubah kebijakan luar negeri  dan dalam negeri  dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama  yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia men- jadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan  kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tang- gal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama  kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan  politik - di Eropa Timur sering disebut  lustrasi - dilakukan terhadap orang- orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah  Militer Luar Biasa untuk  mengadili  pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terli- bat “dibuang” ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan  dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian  khusus diterapkan  untuk menyeleksi kekuatan  lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya  bahkan  seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar  oleh pusat. Pembagian  PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga  melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi  dengan dwitujuan,  bisa tercapainya  stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga  pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto  mampu  mencip- takan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber  daya  Selama masa  pemerintahannya, kebijakan-kebijakan  ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan  pertumbuhan ekonomi yang besar namun  tidak merata  di Indonesia. Contohnya, jumlah orang  yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada  di bawah  warga pribumi, yang secara tidak langsung  juga menghapus hak-hak asasi mereka.  Kesenian barongsai  secara  terbuka,  perayaan  hari raya Imlek, dan  pe- makaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian  hal ini diperjuangkan oleh komu- nitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas  pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa  Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tion- ghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya  surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian  artikelnya ditulis dalam bahasa  Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu men- capai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan  rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menye- barkan  pengaruh komunisme  di Tanah Air. Padahal, kenyataan  berkata  bahwa  kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu  bertolak belakang  dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat  mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan  politik praktis. Sebagian  lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat  menguta- makan persatuan bangsa  Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan  bangsa”. Salah satu cara yang dilaku- kan oleh pemerintah adalah  meningkatkan transmigrasi  dari daerah  yang padat  pen- duduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari pro- gram ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen  anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran  itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam ben- tuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara  itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Krisis finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang  krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang  semakin  jatuh.  Rupiah jatuh,  inflasi meningkat  tajam,  dan  perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan  massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto  dari jabatannya  pada  tahun  1998 dapat  dikatakan sebagai  tanda akhirnya Orde Baru, untuk  kemudian  digantikan “Era Reformasi”. Masih adanya  tokoh- tokoh penting  pada  masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada  masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara  lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan  pondasi  baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.

Sumber : Modul cpns , Aristo Chandra & Team

Comments

Popular Posts