PEMBAHARUAN WARISAN HUKUM BELANDA DI INDONESIA
WARISAN HUKUM BELANDA
Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda
tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang
membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat
keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh
pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi) seperi hak
monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak
mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak
uang.
Pada tahun
1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal
Piere Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang
harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang
dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana.
Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”.
Pada tahun
1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama
“Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan
pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe
Bataviase Statuten” (statute Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh
daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan hukum
lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri dari orang-orang Pribumi dan
Orang-Orang pendatang dari luar.
Zaman
Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak
berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan dimulainya
Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga masuk
pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah
dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada
zaman Hindia belanda adalah:
1. Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847
No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga
diberlakukan antara lain:
a. Reglement
of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.
b. Burgerlijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)
c. Wetboek
van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
d. Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau
peraturan tentang Acara Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1
Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.
2. Regering
Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb
1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van
Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3. Indische
Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pengganti
dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam
Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.
Zaman
Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan
pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu
Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.
Politik
Hukum Belanda
Berlakunya
hukum dalam suatu negara ditentukan oleh Politik hukum negara yang
bersangkutan, disamping kesadaranan hukum masyarakat dalam negara itu. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan politik hukum hendaknya perlu diketahui
terlebih dahulu arti Politik Hukum. Arti Politik Hukum adalah Suatu jalan
(kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat pula
dilihat pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk.
Oleh karena itu
berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum memiliki tugasnya
meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius
constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius constitutum
yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan politik
hukum berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki
pengertian menyelidiki sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat melaksanakan
cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk mancapai suatu
pelaksanaan yang baik dari cita-cita social itu.
Politik hukum suatu
negara biasanya dicantumkan dalam Undang- Undang Dasarnya tetapi dapat pula
diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukum dilaksanakan melalui
dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu.
Bentuk hukum itu dapat:
a. Tertulis
yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu Undang-Undang dan berlaku
sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada dua macam yaitu:
a.
Kodifikasi ialah disusunnya ketentuan-ketentuan hukum
dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
b.
Tidak
dikodifikasikan ialah sebagai undang-undang saja.
2. Tidak
tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula merupakan
kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan. Corak hukum dapat ditempuh dengan:
a.
Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi
setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
b.
Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum bagi dua
kelompok social yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau suatu
negara.
c.
Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam sistem
hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok
sosial atau suatu negara.
Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut ini
dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia. Keberadaan Hukum di Indonesia
sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh keberadaan
sejarah hukum. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya undang-undang yang dibuat
jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya hukum
Islam juga mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian permasalahan-permasalahan
perdata masih menggunakan hukum Islam. Oleh karen itu, perlu diketahui terlebih
dahulu bagaimana politik Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana
Politik Hukum Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat
berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda (sebagaimana dijelaskan
diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.
1. Masa Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Pada masa
berlakunya AB politik hukum Pemerinthan penjajahan Hindia belanda dapat dilihat
dalam pembagian golongan dan berlakunya hukum bagi masing-masing golongan
tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam
dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan
kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi
(berserta mereka yang dipersamakan dengannya).
Sedangkan
hukum yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut diatur didalam Pasal 9
AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua pasal tersebut adalah
(dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal
tersebut):
Pasal 9 AB
“Menyatakan bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang (yang
diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka
yang dipersamakan dengannya”.
Pasal 11 AB
“Menyatakan bahwa untuk
golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama,
pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum,
pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan
keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu
sendiri ditetapkan berlakunya hukum eropa atau orang pribumi yang bersangkutan
telah menundukan diri pada hukum eropa”.
Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan
politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum
perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk
Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang tidak
dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang
dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata
Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya
dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku
bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi
golongan Indonesia.
Membedakan
golongan untuk memberlakukan hukum perdataberdasarkan sistem hukum dari
masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit dalam
pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas
walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5
hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan
orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra.
Pembagian
golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang
beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak
beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan
bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan
golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen
termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga
bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen
disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama
Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang
bumiputra.
Tetapi
karena pasal 10 AB memberikan wewenang kepada GubernurJenderal untuk menetapkan
peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10,
pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam
lapangan hukum sipil dan hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan pidana
dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan
demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang
bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.
2.
Masa Regering Reglement (R.R.)
Politik
hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum
pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada asasnya
seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam
dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas
kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian
golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings
Reglement. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan
merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 109 RR
“Pada pokoknya sama
dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap
orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India dipersamakan dengan
Bumi Putera”.
Pasal 75 RR
“Menyatakan tetap
memberlakukan hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi golongan
lainnya”.
Pada tahun
1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian
setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1
Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai
1926 dinamakan Masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum
dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni
menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi
menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.
3.
Masa Indische Staatsregeling (I.S.)
Berlakunya
IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan
hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131
IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh
isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Sedangakan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku
bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal
tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan
dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda
dibedakan atas tiga golongan, yakni :
1. Golongan
Eropa
2. Golongan
Bumi Putera
3. Golongan
Timur Asing.
Pasal 131 IS meyatakan
beberapa hal yakni :
1. Menghendaki
supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2. Memberlakukan
hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda
berdasarkan asas konkordansi.
3. Membuka
kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan
bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4. Memberlakukan
dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat
menghendaki demikian.
Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk
menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.
Politik
Hukum Indonesia
Diatas telah
dijelaskan politik hukum pada masa penjajahan belanda, dibawah ini akan
dijelasakan politik hukum Indonesia setelah merdeka. Pada tanggal 17 Agustus
1945 Indonesia merdeka, setelah Indonesia merdeka bagaimanakah politik Hukum
Indonesia. Untuk mengetahui keberadaan politik hukum di Indonesia dapat
dianalisa berdasarkan berlakunya Undang-Undang Dasar di Indonesia. Setelah Indonesia
merdekan sebagai bangsa yang lepas dari penjajahan, maka sebagai dasar negara
dibentuklah UUD 1945 yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia.
Undang-Undang Dasar yang diberlakukan sampai sekarang ini adalah Undang-Undang
Dasar 1945 menurut Dekrit Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan
politik hukum negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga negara
yang mencantumkan politik hukumnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi Negara yang
tidak mencantumkan politik hukumnya di Undang-Undang Dasar biasanya
mencantumkan di dalam suatu bentuk ketentuan lain. UUD 1945 yang berbatang
tubuh 37 pasal tidak mencantumkan tentang politik hukum negara. Hal ini berbeda
dengan UUDS 1950 yang mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal 102, yang
berbunyi:
“Hukum
perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun militer, hukum acara
perdata maupun hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur
dalam undang-undang dalam kitab hukum. Kecuali jika pengundang-undang menggap
perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang sendiri”.
Berdasarkan
Pasal 102 UUDS 1950 arah politik hukum yang dikehendaki membentuk suatu hukum
tertulis yang dikodifikasi. Tetapi sebagaimana diketahui dasar negara yang
digunakan adalah UUD 1945, maka politik hukum sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku.
Oleh karena UUD 1945
tidak mengatur politik hukum maka didalam pelasanaan hukum berlandasakan kepada
Pasal II aturan peralihan UUD 1945.
Di dalam
Pasal II aturan peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undag Dasar ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan
merupakan politik Hukum hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk
mengisi kekosongan hukum. Fungsinya sama dengan pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal
192 UUD RIS yang menyatakan tetap berlakunya peraturan perundangan hukum dan
tata usaha yang telah berlaku sebelum berlakunya UUD saat itu.
Dengan
adanya Pasal II Aturan Peralihan kekosongan hukum dapat diatasi, yang berarti
bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada jaman penjajahan Belanda tetap
berlaku selama belum adanya hukum yang baru. Berlakunya Pasal II
aturan peralihan ini disebut dengan asas konkordansi. Tetapi, walaupun masih
ada peraturan hukum Belanda yang berlaku setelah menjadi negara merdeka dewasa
ini sebenarnya tidak bertujuan seperti penjajah Belanda pada zamannya,
melainkan hanya sebagai alasan “jangan sampai terjadi kekosongan hukum” saja,
sebab kekosongan hukum berarti tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib
hidup. Hal ini akan sangat berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya aturan
hukum Belanda walaupun sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dalam pergaulan hukum di Indonesia. Karena itu pemerintah terus berusaha
mewujudkan hukum nasional sebagai penggantinya yang dinyatakan secara berencana
melalui politik hukumnya dalam haluan negara. Suatu perumusan politik hukum
yang dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN).
DASAR
PEMBERLAKUAN KUHPerdata dan Pidana
Hukum Perdata
Setelah Indonesia
Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda
tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru
berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab
Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN
UUD 1945
Segala Badan
Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud
dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh
Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum
perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk
Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut
berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai
Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
Hukum Pidana
Setelah Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tahun 1945,untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang
diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal 2 aturan peralihan UUD
1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia
ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Indonesia.
Dalam pasal VI Undang-undang
No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan
dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang
ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang
dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah
jepang maupun oleh panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan Bangsa
Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah
tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958
yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik
Indonesia.
PEMBAHARUAN HUKUM PERDATA
Berdasarkan
gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan
Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan
Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap
tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang
seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka
pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini
tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan
anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan
demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara
ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara
semua WNI.
3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan
dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa
dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan
penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali
apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan
diperbolehkan.
5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan
bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila
gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah
memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat
kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih
dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum
hari sidang pengadilan.
6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang
pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah
dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun
penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini,
maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban
atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum
diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana
pertanggung-jawaban dimaksud.
7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang
mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa
dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan. Selain diatas, pembaharuan KUHPerdata banyak melalui peraturan
perundang-undangan di Indonesia, Salah satunya adalah UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
Menurut Barda Nawawi Arief,
pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan
peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana
yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai
sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai
yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia
harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan
sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat,
hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta
kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.
Adapun alasan-alasan yang
mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh
Sudarto, yaitu:
a. alasan yang
bersifat politik
adalah wajar bahwa negara
Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang
dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan
kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh
karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua
peraturan perundangundangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan
kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
b. alasan yang
bersifat sosiologis
suatu KUHP pada dasarnya
adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat
perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada
perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana.
Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung
pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentangn apa yang baik,
yang benar dan sebaliknya.
c. alasan yang
bersifat praktis
teks resmi WvS
adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 1946 dapat
disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak
hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat
berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan
terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena
terjemahan yang kurang tepat. Selain pendapat Sudarto di atas, Muladi
menambahkan alasan perlunya pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan
adaptif. KUHP nasioanl di masa mendatang harus dapat menyesuaian diri
dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan
internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab.
Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik
dengan pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif
dari pada sekedar mengganti KUHP. Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana
Universitas Diponegoro Semarang yang menyebutkan bahwa pembaharuan hukum pidana
meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Di samping
itu, tidak ada artinya hukum pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak
dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya.
Dengan kata lain criminal law reform
atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan
ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).
Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal
culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat
hukumnya (legal structure reform). Sedangkan menurut
Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi
pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan
pidana.
Dengan demikian pembaharuan KUHP hanya berarti
pembaharuan materi hukum pidana. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana,
pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian
demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara
universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total
kodifikasi hukum pidana. Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang
pernah dilakukan Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan,
yaitu:
- UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
- UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
- UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
- UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
- UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188).
- UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah).
- UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
- UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
- UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
- UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan).
- UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara
menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional
I, pada tanggal 11-16Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan
kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada
tahun 1964 dikeluarkan Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP
1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep
1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep
1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali
Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundangundangan
RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini telah masuk di DPR RI
untuk dibahas dan disahkan.
Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan
komprehensif jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra
keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah
membuat Rancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun
(sejak tahun 1964 s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga
membengkak menjadi 647 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) “hanya” berjumlah
569 pasal.
BEBERAPA
USAHA PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA
Pasca
Kemerdekaan
Beberapa
kendala pengembangan hukum nasional pada tahun 1945-1950 :
- Bragam hukum yg tidak terumus secara eksplisit
- Telah terlanjur tercipta pengelolaan sistem Hukum modern (asas, doktrin, pembuatan dan penegakan, organisasi dan prosedur)
- Pemikiran para Jurist yag membangun H Nasional terkondisi dan terdidik dalam tradisi H. Belanda.
Upaya
Pembaharuan Hukum Indonesia pasca kemerdekaan :
a. Pasal
II AP UUD’45 – Maklumat Presiden No. 2 Th 1945
b. Penyederhanaan
Badan Peradilan
(PN> PT> MA)
c. Konfrensi
Meja Bundar 27- 12 – 1949 “Pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda”
d. RIS
(Ps 192 Kont RIS) “Hk yg berlaku adalah produk RIS”
e. UUDS’50
(Ps 142) “Peraturan per-UU-an yg ada sejak 17 – 8 – 45 tetap berlaku
selama
tidak dicabut dan ditambah UUD yg baru”
Hasilnya :
·
UU MA No. 90 Th 1950
·
UU No. 1/Drt/1951
·
Unifikasi Peradilan “Hakim dapat melakukan penemuan
hukum yg dikembangkan jadi hukum Nasional.
Periode
Orde Lama :
Ø Dekrit
Presiden 1959 (Bebas dari kolonial, Kembali ke UUD’45
Ø Langkah
dilakukan:
- Mengganti simbol hukum dari “Dewi Justitia” menjadi “Pohon Beringin” (perubahan fungsi hukum dari pemberi keadilan/kepastian hukum menjadi pengayoman, kembali ke dasar filosofis bangsa Indonesia)
- TAP MPRS No.2 Th 1960 (Untuk kesatuan hukum harus perhatikan realitas Indo, Asas hk harus sesuai GBHN dan H. Adat)
- UU No. 5 Th ‘60 “Mencabut sebagian besar Buku II KUHPd”
- Mengaktifkan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang berkedudukan di bawah Menter Kehakiman. Bertugas Menjabarkan asas pembangunan hukum yg digariskan TAP MPRS No II/1960 dan Merancang berbagai UU yang akan mengganti Hukum Kolonial.
- SE Ka MA Tgl 5 September 1963 “ BW Secara resmi tidak berlaku dan harus memperhatikan Hukum Tidak Tertulis”.
Reaksi atas SE MA pada waktu itu :
a. Hakim2
gelisah, dituntut untuk menemukan hukum anti kolonial
b. Advokat
bimbang karena tidak ada kepastian hukum, Hukum apa yang menjadi landasan hakim
c. Akademisi
“Tidak menghargai kepastian dan tidak logis SE membatalkan UU/Ordonantie”.
Periode
Orde Baru :
Kebijakan
politik “Pembangunan Ekonomi”, Fungsi Hukum “ Law as a tool of social
enginering”
·
Hukum Nasional diarahkan untuk memulihkan wibawa
hukum, menentang penghambaan hukum terhadap kepentingan dan tujuan politik
·
Kepastian hukum dipulihkan Ditetapkan Tata Urutan
Per-UU-an (TAP MPRS No. XX Th 1966 Tentang Sumber Tertib Hukum.
Ø Arah
Kebijakan Hukum Nasional:
·
Menunjang Perkembangan Ekonomi
·
Kodifikasi & Unifikasi terbatas yg selektif
·
Hukum Kolonial di Nasionalisasi
·
Pengembangan H. Adat
Ø Repelita
“Rule of Law dijamin UUD:
·
HAM diakui dan dilindungi
·
Peradilan tidak memihak (UU No 14/70)
·
Asas Legalitas dipegang teguh
SUMBER :
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2012/10/pembaharuan-warisan-hukum-belanda-di_9356.html



Comments
Post a Comment